Rabu, 03 Juni 2020

Tidak Masalah jadi Epigon

Kata epigon memang jarang kita dengar. Sebab banyak yang tidak berkenan disebut epigon.  Kata ini diduga memiliki kecenderungan makna negatif. Di dunia kepenulisan epigon adalah mengikuti gaya tulisan seseorang yang lebih dulu terkenal. Mengekor.

Dalam menulis tidak menutup kemungkinan seseorang terinspirasi dari tulisan orang lain. Misalnya, tulisan Dahlan Iskan (DI). Tidak sedikit orang yang terinspirasi gaya tulisan (DI). DI dalam menulis jarang menggunakan kalimat yang panjang. Kata yang dipilih pun benar benar efektif. Ekonomi kata juga sangat diperhatikan. Tidak ada pemborosan kata kata pada setiap tulisannya. Efektif, inspiratif, dan selalu ada yang baru. Setidaknya itu gaya tulisan DI yang saya tangkap.

Tidak sedikit pula yang meniru gaya menulis A.S Laksana yang kontemplatif dan kerap menggunakan kalimat yang panjang.

Kita terlanjur sering mendengar dan percaya kepada para motivator dan instruktur menulis: kita harus menjadi diri sendiri, menulis dengan gaya atau style kita sendiri. Tidak salah, memang. Tetapi untuk menuju ke sana, tidak bisa ujuk ujuk. Ada proses panjang yang harus dilalui. Tidak masalah jadi epigon dulu. Tidak apa-apa. Ikuti saja gaya menulis seseorang dulu, baru nanti melepaskan diri dari orang yang kita ikuti. Itu bukan plagiasi dan tak pernah dianggap sebuah kesalahan dan dosa.

Pramudya Ananta Toer tidak malu mengakui bahwa karya karyanya banyak terpengaruh dengan gaya John Steinbeck. Bahkan novel realisnya seperti Of Mice and Man diterjemahkan Pram ke dalam bahasa Indonesia  menjadi Manusia dan Tikus.

Tidak hanya Pram,  penulis roman Atheis Achdiat Kartamihardja secara terang-terangan dan jujur mengakui mempelajari teknik menulis pengarang asal Perancis Victor Hugo, penulis roman Les Miserables yang sangat terkenal itu.

Menjadi epigon bagi seorang penulis itu seperti seseorang yang sedang mencari jati dirinya. Seorang penulis akan mencapai tahap seperti yang dikatakan John Cowper Powys: yang paling penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri…”  itu harus melalui proses individuasi. Individuasi adalah proses melemahnya keterikatan pada gaya menulis figur yang ditiru atau diikuti. Sehinga seorang penulis  berkembang sendiri sesuai dengan apa yang ada di benaknya, sesuai dengan pancainderanya saat menangkap pengetahuan, sesuai dengan darah yang mengalir di tubuhnya, sesuai watak dan karakternya.

Oleh karena itu tidak apa apa jadi epigon dulu. Semua ini butuh waktu. Ada proses panjang yang harus dilewati. Tidak instan. Style tulisan itu akan menjadi jenama pribadi seorang penulis. Ia cuma bisa diamati, ditiru, dipelajari, atau mungkin dimofifikasi. Tidak bisa diajarkan.  Seperti ungkapan William Faulkner bahwa tidak ada jalan mekanis untuk menulis atau mengarang. (*"/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar