Kamis, 11 Juni 2020

Meniti Karir Tanpa Narkoba (1)

Narkoba sudah dikenal sejak 3400 SM ketika  Sumeria memasuki wilayah Mesopotamia (sekarang Irak) dengan menyebutnya Hul Gil atau tanaman kegembiraan (Opium). Setelah diperkenalkan pada bangsa Assyiria, Babilonia, dan Mesir, Opium menjadi sebuah komoditi antarnegara. Perdagangan opium kian hari semakin ramai. Meski dampak yang ditimbulkan sangat merugikan manusia, mereka tidak memedulikan, bahkan larangan yang telah dibuat pun tidak dihiraukan.

Pada abad 18 kawasan Asia pernah menjadi produsen opium terbesar yang memengaruhi perdagangan dunia. Pemerintah Cina yang sudah mengetahui dampak buruk opium, melakukan razia dan memerintahkan semua pedagang Inggris untuk menyerahkan barang haram tersebut.

Namun hal itu tidak digubris para pedagang Inggris, bahkan Inggris mengirimkan armada kapal perangnya menuju perairan Cina. Saat itulah genderang Perang Candu yang pertama 18 Maret 1839 ditabuh. Dalam peperangan tersebut, Cina mengalami kekalahan. Sebagai konpensasi, Hongkong harus diserahkan Cina kepada Inggris. Hal yang sama terjadi pada saat perang candu kedua, sehingga Cina harus mengganti semua kerugian akibat perang.

Fakta sejarah tersebut merupakan sebuah potret, betapa susahnya membendung pergerakan arus narkoba. Baling-baling perdagangan narkoba digerakan dari berbagai penjuru mata angin. Bandul ekonomi menjadi lebih kuat dibanding bandul etika dan moral. Sopan santun diabaikan, hukum dilanggar, dan bila perlu dibeli.

Grafik kasus narkoba cenderung meningkat. Maraknya kasus narkoba disebabkan karena keuntungan dari bisnis barang haram tersebut cukup menggiurkan. Beberapa sumber mengkalkulasi keuntungan pabrik narkoba, dalam sebulan, mampu meraup keuntungan Rp. 10 Milliar. ltu satu pabrik.

Lemahnya law inforcement dan konteks sosiologis, yang kurang menguntungkan menjadi penyebab utama tumbuh suburnya perdagangan narkoba. Penjara bukan membuat tahanan narkoba jera, tetapi para bandar narkoba itu justru diduga mengendalikan bisnisnya dari balik jeruji besi. Hal ini diperburuk oleh intensitas kegiatan yang kian hari kian meningkat berpotensi menimbulkan tekanan (stres). Permasalahan ekonomi yang semakin komplek berpeluang menimbulkan keputusasaan.

Sementara, kita belum terlatih menyelesaikan persoalan secara konstruktif. Kecenderungan lari dan menghindar dari permasalahan dengan memilih cara instant kerap menjadi sebuah solusi alternatif. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar