Rumah Sakit Ketergantungan Obat di Jakarta pernah merilis bahwa dari penderita yang berusia 15-24 tahun, sebagian besar dari mereka adalah masih aktif di SMP/A. Hal ini merupakan sebuah bukti Sekolah berpotensi menjadi bidikan para bandit narkoba untuk dijadikan lahan empuk perdagangan narkoba.
Usia sekolah merupakan masa-masa transisi, dari masa anak-anak menuju masa remaja atau awal dewasa. Situasi dan kondisi pada masa tersebut kerap mengalami gejala perubahan dan dorongan rasa ingin tahu yang sangat kuat. Anak berusaha menemukan jati dirinya. Mereka kerap menonjolkan “akunya’, tapi bukan aku yang sebenarnya, tapi aku yang “ego”.Sehingga masa tersebut sangat rentan terhadap penyalahgunaan narkoba (abuse). Mereka menggunakan narkoba bukan untuk tujuan pengobatan, melainkan menikmati pengaruhnya.
Berbagai alasan mereka kemukakan. Mulai dari coba-coba (experimental use), mengatasi stress (situational use), bersenang-senang (recreational use), sosialisasi (social use), dan gaya hidup (life style). Padahal, dampak yang ditimbulkan sangat tidak baik terhadap fisik, mental, kehidupan sosial, bahkan sangat mungkin. mengandaskan masa depannya.
Beberapa jenis narkoba yang banyak beredar antara lain heroin (putauw), sabu-sabu (metamfetamin), ekstasi, ganja, obat tidur, inhalal1sia (uap yang dihirup), solven (zat pelarut), alkohol, dan nikotin. Dua jenis narkoba yang disebut terakhir kerap dikonsumsi siswa. Dalam bebeberapa kasus, tidak sedikit siswa terjaring razia karena ditemukan membawa minuman keras (miras) dan rokok.
Alkohol yang terkandung dalam miras berdampak buruk bagi peminumnya, karena akan menghambat kerja otak, rileks, mabuk, gangguan koordinasi tubuh, rasa malu dan takut berkurang, serta membahayakan bagi pengendara kendaraan bermotor. Apabila dikonsumsi dalam interval waktu lama akan merusak jantung, hati, lambung, dan saraf.
Sementara rokok mengandung nikotin yang menyebabkan ketergantungan. Di dalam rokok mengandung lebih dari 4.000 bahan kimia yang merusak kesehatan tubuh. Dampak buruk yang ditirnbulkan antara lain gigi dan kuku berwama coklat, denyut jantung bertambah, tekanan darah meningkat. Tidak hanya itu merokok juga dapat menimbulkan kanker, gangguan jantung, dan paru-paru.
Anak/siswa adalah generasi muda, tunas bangsa sekaligus pemilik masa depan bangsa. Oleh karena itu harus dijauhkan dari narkoba. Sekolah menjadi, jalan utama kemajuan dan perkembangan umat manusia. Ketika sekolah itu dikelola dengan baik dan sungguh-sungguh akan menghasilkan generasi yang sadar meyakini tujuan bangsanya. Memberi bekal ilmu pengetahuan, membangun mental, serta melatih ketrampilan merupakan cara terbaik melindungi siswa dari kepungan narkoba.
Guru sebagai agen pembelajaran tidak hanya bertanggungjawab membekali siswa ilmu pengetahuan semata. Mereka diharapkan juga menyibukkan diri menangani anak didiknya agar tidak terkontaminasi narkoba. Tidak hanya itu, guru harus senantiasa membimbing putra-putrinya meniti masa depan dengan menjauhi barang haram tersebut.
Beberapa upaya kongkrit yang bisa dilakukan untuk menyeterilkan sekolah dari narkoba antara lain : pertama, mengemas pembelajaran secara terintregrasi. Sosialisasi narkoba dilakukan di saat-saat pembelajaran berlangsung. Artinya, nerkoba tidak harus menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri.
Kedua, melakukan kerjasama horizontal dengan Kepolisian, BNN, Dinas Kesehatan, dan Lembaga Psikologi. Kepolisian melakukan penyuluhan narkoba di sekolah dari sudut pandang hukum. Sementara dinas kesehatan memberikan sebuah gambaran dampak negatif narkoba bagi kesehatan tubuh. Dan pengaruh buruk narkoba terhadap mental kejiwaan menjadi bidang garapan lembaga psikologi.
Ketiga, melakukan tindakan nyata (real action). Melakukan razia, memasang spanduk/poster, mengadakan lomba pidato bertema “gerakan antinarkoba” misalnya. Dengan upaya ini diharapkan siswa akan mengetahui bahaya narkoba, baik dari sisi kesehatan maupun dari aspek hukum. Apabila upaya ini dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan, maka pada gilirannya nanti siswa akan mengatakan “TIDAK” dengan narkoba.
PRIYANDONO-NEWS
Jumat, 12 Juni 2020
Kamis, 11 Juni 2020
Meniti Karir Tanpa Narkoba (1)
Narkoba sudah dikenal sejak 3400 SM ketika Sumeria memasuki wilayah Mesopotamia (sekarang Irak) dengan menyebutnya Hul Gil atau tanaman kegembiraan (Opium). Setelah diperkenalkan pada bangsa Assyiria, Babilonia, dan Mesir, Opium menjadi sebuah komoditi antarnegara. Perdagangan opium kian hari semakin ramai. Meski dampak yang ditimbulkan sangat merugikan manusia, mereka tidak memedulikan, bahkan larangan yang telah dibuat pun tidak dihiraukan.
Pada abad 18 kawasan Asia pernah menjadi produsen opium terbesar yang memengaruhi perdagangan dunia. Pemerintah Cina yang sudah mengetahui dampak buruk opium, melakukan razia dan memerintahkan semua pedagang Inggris untuk menyerahkan barang haram tersebut.
Namun hal itu tidak digubris para pedagang Inggris, bahkan Inggris mengirimkan armada kapal perangnya menuju perairan Cina. Saat itulah genderang Perang Candu yang pertama 18 Maret 1839 ditabuh. Dalam peperangan tersebut, Cina mengalami kekalahan. Sebagai konpensasi, Hongkong harus diserahkan Cina kepada Inggris. Hal yang sama terjadi pada saat perang candu kedua, sehingga Cina harus mengganti semua kerugian akibat perang.
Fakta sejarah tersebut merupakan sebuah potret, betapa susahnya membendung pergerakan arus narkoba. Baling-baling perdagangan narkoba digerakan dari berbagai penjuru mata angin. Bandul ekonomi menjadi lebih kuat dibanding bandul etika dan moral. Sopan santun diabaikan, hukum dilanggar, dan bila perlu dibeli.
Grafik kasus narkoba cenderung meningkat. Maraknya kasus narkoba disebabkan karena keuntungan dari bisnis barang haram tersebut cukup menggiurkan. Beberapa sumber mengkalkulasi keuntungan pabrik narkoba, dalam sebulan, mampu meraup keuntungan Rp. 10 Milliar. ltu satu pabrik.
Lemahnya law inforcement dan konteks sosiologis, yang kurang menguntungkan menjadi penyebab utama tumbuh suburnya perdagangan narkoba. Penjara bukan membuat tahanan narkoba jera, tetapi para bandar narkoba itu justru diduga mengendalikan bisnisnya dari balik jeruji besi. Hal ini diperburuk oleh intensitas kegiatan yang kian hari kian meningkat berpotensi menimbulkan tekanan (stres). Permasalahan ekonomi yang semakin komplek berpeluang menimbulkan keputusasaan.
Sementara, kita belum terlatih menyelesaikan persoalan secara konstruktif. Kecenderungan lari dan menghindar dari permasalahan dengan memilih cara instant kerap menjadi sebuah solusi alternatif. (Bersambung)
Pada abad 18 kawasan Asia pernah menjadi produsen opium terbesar yang memengaruhi perdagangan dunia. Pemerintah Cina yang sudah mengetahui dampak buruk opium, melakukan razia dan memerintahkan semua pedagang Inggris untuk menyerahkan barang haram tersebut.
Namun hal itu tidak digubris para pedagang Inggris, bahkan Inggris mengirimkan armada kapal perangnya menuju perairan Cina. Saat itulah genderang Perang Candu yang pertama 18 Maret 1839 ditabuh. Dalam peperangan tersebut, Cina mengalami kekalahan. Sebagai konpensasi, Hongkong harus diserahkan Cina kepada Inggris. Hal yang sama terjadi pada saat perang candu kedua, sehingga Cina harus mengganti semua kerugian akibat perang.
Fakta sejarah tersebut merupakan sebuah potret, betapa susahnya membendung pergerakan arus narkoba. Baling-baling perdagangan narkoba digerakan dari berbagai penjuru mata angin. Bandul ekonomi menjadi lebih kuat dibanding bandul etika dan moral. Sopan santun diabaikan, hukum dilanggar, dan bila perlu dibeli.
Grafik kasus narkoba cenderung meningkat. Maraknya kasus narkoba disebabkan karena keuntungan dari bisnis barang haram tersebut cukup menggiurkan. Beberapa sumber mengkalkulasi keuntungan pabrik narkoba, dalam sebulan, mampu meraup keuntungan Rp. 10 Milliar. ltu satu pabrik.
Lemahnya law inforcement dan konteks sosiologis, yang kurang menguntungkan menjadi penyebab utama tumbuh suburnya perdagangan narkoba. Penjara bukan membuat tahanan narkoba jera, tetapi para bandar narkoba itu justru diduga mengendalikan bisnisnya dari balik jeruji besi. Hal ini diperburuk oleh intensitas kegiatan yang kian hari kian meningkat berpotensi menimbulkan tekanan (stres). Permasalahan ekonomi yang semakin komplek berpeluang menimbulkan keputusasaan.
Sementara, kita belum terlatih menyelesaikan persoalan secara konstruktif. Kecenderungan lari dan menghindar dari permasalahan dengan memilih cara instant kerap menjadi sebuah solusi alternatif. (Bersambung)
Rabu, 10 Juni 2020
Menanti "Pesta" di Penghujung Tahun
Suhu politik di berbagai daerah di Indonesia mulai menghangat. Mesin mesin politik sudah mulai dihidupkan. Riuhnya hampir menyamai badai korona. Baliho baliho pasangan bakal calon kepala daerah mulai bertebaran di pinggir pinggir jalan.
Pemerintah telah memutuskan pilkada serentak bakal digelar Desember 2020 mendatang. Setidaknya ada 270 daerah provinsi dan kab/kota di tanah air yang bakal melakoni ritual 5 tahunan ini. 19 daerah diantaranya di Jawa Timur.
Politik dibentuk untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi yang terjadi acapkali sebaliknya. Sebab politik hanya bisa menyelesaikan beberapa persoalan saja. Selebihnya dibutuhkan nilai yang lebih tinggi.
Politik memang seksi. Godaannya amat menggiurkan sekaligus menjerumuskan. Mulai purnawirawan, profesional hingga pebisnis banyak yang tergoda masuk ke kancah politik. Meskipun politik bertentangan dengan jiwa profesional dan pebisnis. "Jiwa bisnis adalah jiwa yang harus bisa dipercaya. Harus memegang teguh komitmen. Apa yang diucapkan harus bisa dipegang," terang Dahlan Iskan
Hal yang jamak terjadi saat jelang pemilukada. Berapa tokoh sudah mulai melakukan tes ombak. Tebar pesona. Jual dagangan. Sejak dulu dagangan yang ditawarkan pancet, tidak jauh beda: pemberantasan korupsi, kurangi pengangguran, perjuangkan hak wong cilik.
Hasilnya? Tahu sendirilah. Banyak sekali terjadi anomali pascapemilukada. Ada saja bau tak sedap usai pemilukada. Mereka yang awalnya lantang menyuarakan hak hak rakyat kecil, ternyata diam diam diketahui melakukan politik transaksional. Mereka yang awalnya getol menyuarakan pemberantasan korupsi justru malah diterkam omongannya sendiri. Di Jawa Timur, dari 38 kepala daerah kabupaten/kota, 14 diantaranya menjadi pasien Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
#PilkadaGresik
Gresik termasuk salah satu dari 19 daerah di Jawa Timur yang akan melakukan hajatan politik. Menurut Jurnalis Pwigresik pesta demokrasi ini diperkirakan bakal menyedot anggaran sekitar Rp.100 milliar untuk KPU, Bawaslu, aparat keamanan, dan kebutuhan lain.
Tahun 2010 lalu, saya menyoroti pengangguran di Gresik. Kala itu Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Gresik memprediksi pengangguran di Kota Santri naik sekitar 15 hingga 20 ribu orang per tahun. Pengangguran tersebut disebabkan terbatasnya lapangan kerja. Perbandingan kesempatan kerja dengan pencari kerja tidak seimbang.
Awal tahun 2019 angka pengangguran pun masih tergolong tinggi. Jumlah penganggurannya mencapai 30.000 orang. Ini patut mendapat penanganan serius. Semakin tinggi pengangguran, semakin tinggi pula angka kriminalitas. Kalau tidak segera mendapatkan penanganan dikhawatirkan terjadi crime of carnaval.
Sementara itu, Sabtu (1/2) lalu siswa saya, Naura Zalfa Addintama (SMAN 1 Gresik) melakukan presentasi di Gedung DPRD Gresik dalam rangka kompetisi literasi pelajar tingkat SMA sederajat yang digelar PWI Gresik.
Lewat presentasinya, Naura--sapaan akrabnya-- berharap, ke depan Gresik dipimpin oleh Bupati "ASIK" (kreAtif, optimiS, pedulI, Koordinatif) dan Melek Teknologi Buat Pariwisata Lokal Gresik Makin Asyik".
Di Gresik ada sekitar 30 destinasi wisata. Akan tetapi destinasi tersebut belum dikelola secara maksimal. Ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Bupati Gresik yang akan datang. Siapa pun yang memimpin Gresik diharapkan kreAtif mengelola obyek wisata yang ada sehingga mampu menjadi magnit yang kuat bagi wisatawan
Lewat kratifitas itu, lanjut Naura, akan membuat pemerintah daerah optimiS obyek wisata Gresik semakin banyak diminati. Kalau banyak pengunjung, tentu akan mendongkarak pendapatan asli daerah. Artinya Bupati yang kreatif berpotensi menjadi daya ungkit PAD
Naura menambahkan, setiap tahun Gresik selalu kedatangan tamu rutin, yakni banjir. Salah satu penyebanya adalah kali Lamong yang tidak mampu menampung air saat musim hujan datang. Ke depan Bupati harus pedulI lingkungan. Kali Lamong itu bisa dikelola menjadi sebuah destinasi. Misalnya dengan membangun waduk yang berfungsi menyimpan air. "Waduk tersebut dilengkapi dengan sepeda air, untuk olah raga air, serta infrastruktur lainnya," imbuhnya
Masyarakat adalah unsur utama pariwisata. Oleh karena itu Bupati ke depan harus terus Koordinatif. "Artinya, Bupati harus intensif berkoordinasi dengan masyarakat guna memajukan pariwisata kabupaten Gresik," pungkasnya
Kala itu presentasi Naura dihadiri ketua DPRD Gresik Fandi Ahmad Yani (PKB) didampingi para wakil ketua Achmad Nurhamim (Golkar), Mujid Riduan (PDI-P), dan Asluchul Alif (Gerindra). Di antara mereka dikabarkan ikut ambil bagian dalam running pilkada Gresik. Andai terpilih memimpin Gresik apakah akan serius menggarap destinaai wisata Gresik. Kita tunggu saja. (**/)
Jumat, 05 Juni 2020
MATA DATA.
Data itu jamak. Bentuk tunggalnya datum. Datum didapat melalui pengamatan. Bentuknya bisa angka, simbol, maupun bahasa . Kumpulan beberapa datum disebut data. Data belum bisa berbicara dan tidak memiliki arti penuh sebelum dilakukan pengolahan, meliputi verifikasi, kritik, analisis dan interpretasi.
Saat ini, data menjadi salah satu kunci validitas dan keakurasian. Semua yang tidak berbasis data berarti hoax. Semua harus berbasis data. Tentunya data yang telah melalui proses pengolahan. Bukan data mentah. Berawal dari sini kemudian muncul badan maupun lembaga yang mengolah dan menjual data.
Data memiliki dua mata yang berbeda. Mata yang satu bersifat positif, mata satunya negatif. Mata yang satu optimis, satunya pesimis. Bisa mencemaskan, bisa juga menenangkan. Tergantung cara memandangnya.
Misalnya, ketika pemilu akan gelar, banyak sekali data data yang diberikan oleh lembaga survey. Data ini menjadi sangat penting karena berkaitan dengan popularitas dan elektabilitas. Dia juga berpotensi menimbulkan kenyamanan aekaligus kepanikan. Seseorang yang mengikuti running pemilu/kada pasti akan mengalami kepanikan ketika melihat data pendukungnya sedikit. Akibatnya, baliho yang baru muncul di pinggir dijalan tenggelam lagi. Begitu sebaliknya.
Anak anak kita, bahkan kita sendiri juga sering mengalami kepanikan ketika tidak memiliki paket DATA internet. Wkkkkk.....wkkkkkk
Dalam kasus pandemi korona, angka-angka terus beregerak. Sejak virus yang berasal dari Wuhan ini mewabah, setiap hari kita diberikan suguhan data. Juru bicara penanganan covid-19 Achmad Yurianto setiap hari memberikan data perihal kasus positif korona, PDP, ODP, pasien sembuh dan pasien yang meninggal. Data tersebut pun memiliki dua mata. Sehingga menimbulkan kegaduhan. Pandemi ini pun akhirnya seperti Pilkada.
Kata Cak Hud, data tetaplah data. Absurd. Data bukan dasar utama penyelesaian masalah. Sandaran yang mutlak adalah Tuhan. Sisipkanlah doa sebagai ikhtiar batin agar tidak hanya fokus pada usaha lahiriah. Ingat dan yakinlah inna ma'al 'usri yusro. Orang orang selalalu menyandarkan hidupnya kepada Tuhan pasti akan mendapatkan pencerahan batin serta ketenangan jiwa dari setiap perjalanan yang dilaluinya. Sehingga paham bahwa adanya wabah covid-19 adalah salah satu cara Tuhan menguji agar kita menjadi hambaNya yang layak mendapat derajat yang tinggi.
Saat ini, data menjadi salah satu kunci validitas dan keakurasian. Semua yang tidak berbasis data berarti hoax. Semua harus berbasis data. Tentunya data yang telah melalui proses pengolahan. Bukan data mentah. Berawal dari sini kemudian muncul badan maupun lembaga yang mengolah dan menjual data.
Data memiliki dua mata yang berbeda. Mata yang satu bersifat positif, mata satunya negatif. Mata yang satu optimis, satunya pesimis. Bisa mencemaskan, bisa juga menenangkan. Tergantung cara memandangnya.
Misalnya, ketika pemilu akan gelar, banyak sekali data data yang diberikan oleh lembaga survey. Data ini menjadi sangat penting karena berkaitan dengan popularitas dan elektabilitas. Dia juga berpotensi menimbulkan kenyamanan aekaligus kepanikan. Seseorang yang mengikuti running pemilu/kada pasti akan mengalami kepanikan ketika melihat data pendukungnya sedikit. Akibatnya, baliho yang baru muncul di pinggir dijalan tenggelam lagi. Begitu sebaliknya.
Anak anak kita, bahkan kita sendiri juga sering mengalami kepanikan ketika tidak memiliki paket DATA internet. Wkkkkk.....wkkkkkk
Dalam kasus pandemi korona, angka-angka terus beregerak. Sejak virus yang berasal dari Wuhan ini mewabah, setiap hari kita diberikan suguhan data. Juru bicara penanganan covid-19 Achmad Yurianto setiap hari memberikan data perihal kasus positif korona, PDP, ODP, pasien sembuh dan pasien yang meninggal. Data tersebut pun memiliki dua mata. Sehingga menimbulkan kegaduhan. Pandemi ini pun akhirnya seperti Pilkada.
Kata Cak Hud, data tetaplah data. Absurd. Data bukan dasar utama penyelesaian masalah. Sandaran yang mutlak adalah Tuhan. Sisipkanlah doa sebagai ikhtiar batin agar tidak hanya fokus pada usaha lahiriah. Ingat dan yakinlah inna ma'al 'usri yusro. Orang orang selalalu menyandarkan hidupnya kepada Tuhan pasti akan mendapatkan pencerahan batin serta ketenangan jiwa dari setiap perjalanan yang dilaluinya. Sehingga paham bahwa adanya wabah covid-19 adalah salah satu cara Tuhan menguji agar kita menjadi hambaNya yang layak mendapat derajat yang tinggi.
Rabu, 03 Juni 2020
Jangan Lupa Bahagia
Pesan di atas kerap disampaikan Romi Siswanto Hamzah kepada kawan kawan guru pada suatu kesempatan Bimtek atau lomba yang dihelat Kesharlindung dikmen. Romi, sapaan akrabnya sekarang tidak lagi membersamai guru guru dikmen. Ia tetap bersama guru guru tapi guru guru Dikdas. Saya yakin pesan 'dahsyat' itu akan tetap menjadi pengingat bagi diri sendiri, guru guru dan handai taulan yang lain.
Bahagia adalah kata sifat. Level tertinggi dari sebuah pencapaian adalah bahagia, bukan sukses. Sukses bukan kunci kebahagiaan, tapi bahagialah yang menjadi kunci kesuksesan. "Success is not the key to happiness. Happiness is the key to success. If you love what you are doing, you will be successful.” terang Albert Schweitzer.
Langkah menuju kebahagiaan sebenarnya tidak terlalu susah. Bahagia itu sangat sederhana. Bisa dilakukan pada suatu saat di setiap saat. Bentuknya pun bermacam-macam. Guru guru perempuan merasa sangat bahagia bisa foto bareng Dakroni saat puncak acara HGN 2018, misalnya. Apabila kita bahagia dengan pekerjaan saat ini, maka sejatinya kesuksesan sudah ada di depan kita.
Sukses berbeda dengan bahagia. Kita bisa saja sukses sebagai founder. Produk kita digunakan banyak orang. Kita diundang sebagai narasumber di mana mana. Akan tetapi itu tidak cukup membuat bahagia. Apa pasal? Sevab terkadang kita masih mengatakan buat apa jadi guru juara tapi teman di sekelilingnya tidak ada yang seperti dia, jadi juara. Kalimat ini menjadi penanda, masih ada noktah hitam terserak di hati. Kesuksesan yang diraih masih sebatas menempatkan kita lebih dari kawan kawan di sekeliling kita. Sehingga membuat tidak bahagia. Padahal kebahagiaan itu menempatkan kita berwibawa dan dihormati.
Seharusnya kalimat tersebut tidak sampai mengapung ke permukaan. Lewatkan saja agar hati kita tidak lelah. Dunia ini ibarat jalan yang luas. Ada yang lewat jalan lomba. Ada yang nyaman lewat lorong membimbing siswa. Ada juga yang suka lewat jalan membimbing kawan sejawatnya. Tuhan tidak mempermasalahkan jalan itu, yang penting kita bisa Istiqomah hingga akhir perjalanan.
Sukses selalu diidentikkan dengan materi. Namun kebahagiaan tidak harus bertabur kekayaan. Kita tidak dilarang kaya, tapi juga tidak diwajibkan miskin. Hal terpenting adalah kekayaan dan kemiskinan itu dapat membuat kita tetap bersyukur dan bahagia. Sehingga kesempitan dan kelapangan itu bisa mengantarkan kita menjadi bayi telanjang pada detik detik ajal menjemput.
Kesuksesan tidak akan membuat kita tidur nyenyak. Akan tetapi kebahagiaan bisa membuat kita bangun dengan penuh kebugaran. Pada suatu kesempatan Cak Nun pernah mengatakan," Manusia dikasih-Nya darah, naluri, dan kecerdasan agar bisa menyelenggarakan kebahagian. Meskipun dengan suku cadang terendah nilainya, ia mampu menghadapi ramuan kebahagiaan yang jauh melebihi taraf kebahagiaan yang dirajut dengan kemewahan"
Akhirnya, harus berakhir di sini. Saya harus membantu nyonya seterika baju. Saya sangat senang melakukannya, sehingga saya merasa bahagia bisa seterika bareng dengan nyonya.
Tidak Masalah jadi Epigon
Kata epigon memang jarang kita dengar. Sebab banyak yang tidak berkenan disebut epigon. Kata ini diduga memiliki kecenderungan makna negatif. Di dunia kepenulisan epigon adalah mengikuti gaya tulisan seseorang yang lebih dulu terkenal. Mengekor.
Dalam menulis tidak menutup kemungkinan seseorang terinspirasi dari tulisan orang lain. Misalnya, tulisan Dahlan Iskan (DI). Tidak sedikit orang yang terinspirasi gaya tulisan (DI). DI dalam menulis jarang menggunakan kalimat yang panjang. Kata yang dipilih pun benar benar efektif. Ekonomi kata juga sangat diperhatikan. Tidak ada pemborosan kata kata pada setiap tulisannya. Efektif, inspiratif, dan selalu ada yang baru. Setidaknya itu gaya tulisan DI yang saya tangkap.
Tidak sedikit pula yang meniru gaya menulis A.S Laksana yang kontemplatif dan kerap menggunakan kalimat yang panjang.
Kita terlanjur sering mendengar dan percaya kepada para motivator dan instruktur menulis: kita harus menjadi diri sendiri, menulis dengan gaya atau style kita sendiri. Tidak salah, memang. Tetapi untuk menuju ke sana, tidak bisa ujuk ujuk. Ada proses panjang yang harus dilalui. Tidak masalah jadi epigon dulu. Tidak apa-apa. Ikuti saja gaya menulis seseorang dulu, baru nanti melepaskan diri dari orang yang kita ikuti. Itu bukan plagiasi dan tak pernah dianggap sebuah kesalahan dan dosa.
Pramudya Ananta Toer tidak malu mengakui bahwa karya karyanya banyak terpengaruh dengan gaya John Steinbeck. Bahkan novel realisnya seperti Of Mice and Man diterjemahkan Pram ke dalam bahasa Indonesia menjadi Manusia dan Tikus.
Tidak hanya Pram, penulis roman Atheis Achdiat Kartamihardja secara terang-terangan dan jujur mengakui mempelajari teknik menulis pengarang asal Perancis Victor Hugo, penulis roman Les Miserables yang sangat terkenal itu.
Menjadi epigon bagi seorang penulis itu seperti seseorang yang sedang mencari jati dirinya. Seorang penulis akan mencapai tahap seperti yang dikatakan John Cowper Powys: yang paling penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri…” itu harus melalui proses individuasi. Individuasi adalah proses melemahnya keterikatan pada gaya menulis figur yang ditiru atau diikuti. Sehinga seorang penulis berkembang sendiri sesuai dengan apa yang ada di benaknya, sesuai dengan pancainderanya saat menangkap pengetahuan, sesuai dengan darah yang mengalir di tubuhnya, sesuai watak dan karakternya.
Oleh karena itu tidak apa apa jadi epigon dulu. Semua ini butuh waktu. Ada proses panjang yang harus dilewati. Tidak instan. Style tulisan itu akan menjadi jenama pribadi seorang penulis. Ia cuma bisa diamati, ditiru, dipelajari, atau mungkin dimofifikasi. Tidak bisa diajarkan. Seperti ungkapan William Faulkner bahwa tidak ada jalan mekanis untuk menulis atau mengarang. (*"/)
Dalam menulis tidak menutup kemungkinan seseorang terinspirasi dari tulisan orang lain. Misalnya, tulisan Dahlan Iskan (DI). Tidak sedikit orang yang terinspirasi gaya tulisan (DI). DI dalam menulis jarang menggunakan kalimat yang panjang. Kata yang dipilih pun benar benar efektif. Ekonomi kata juga sangat diperhatikan. Tidak ada pemborosan kata kata pada setiap tulisannya. Efektif, inspiratif, dan selalu ada yang baru. Setidaknya itu gaya tulisan DI yang saya tangkap.
Tidak sedikit pula yang meniru gaya menulis A.S Laksana yang kontemplatif dan kerap menggunakan kalimat yang panjang.
Kita terlanjur sering mendengar dan percaya kepada para motivator dan instruktur menulis: kita harus menjadi diri sendiri, menulis dengan gaya atau style kita sendiri. Tidak salah, memang. Tetapi untuk menuju ke sana, tidak bisa ujuk ujuk. Ada proses panjang yang harus dilalui. Tidak masalah jadi epigon dulu. Tidak apa-apa. Ikuti saja gaya menulis seseorang dulu, baru nanti melepaskan diri dari orang yang kita ikuti. Itu bukan plagiasi dan tak pernah dianggap sebuah kesalahan dan dosa.
Pramudya Ananta Toer tidak malu mengakui bahwa karya karyanya banyak terpengaruh dengan gaya John Steinbeck. Bahkan novel realisnya seperti Of Mice and Man diterjemahkan Pram ke dalam bahasa Indonesia menjadi Manusia dan Tikus.
Tidak hanya Pram, penulis roman Atheis Achdiat Kartamihardja secara terang-terangan dan jujur mengakui mempelajari teknik menulis pengarang asal Perancis Victor Hugo, penulis roman Les Miserables yang sangat terkenal itu.
Menjadi epigon bagi seorang penulis itu seperti seseorang yang sedang mencari jati dirinya. Seorang penulis akan mencapai tahap seperti yang dikatakan John Cowper Powys: yang paling penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri…” itu harus melalui proses individuasi. Individuasi adalah proses melemahnya keterikatan pada gaya menulis figur yang ditiru atau diikuti. Sehinga seorang penulis berkembang sendiri sesuai dengan apa yang ada di benaknya, sesuai dengan pancainderanya saat menangkap pengetahuan, sesuai dengan darah yang mengalir di tubuhnya, sesuai watak dan karakternya.
Oleh karena itu tidak apa apa jadi epigon dulu. Semua ini butuh waktu. Ada proses panjang yang harus dilewati. Tidak instan. Style tulisan itu akan menjadi jenama pribadi seorang penulis. Ia cuma bisa diamati, ditiru, dipelajari, atau mungkin dimofifikasi. Tidak bisa diajarkan. Seperti ungkapan William Faulkner bahwa tidak ada jalan mekanis untuk menulis atau mengarang. (*"/)
Selasa, 02 Juni 2020
Satu Jalan Berkhidmat, Seribu Jalan Menghadang
Judul Buku : Guru Pengangkut Air
Elegi Seorang Pengajar Honorer
Penulis : PRIYANDONO
Editor. : S. Jai
Penerbit. : Pagan Press
Tebal. : 116 hal
Ukuran. : 13 x 20
Cetakan Pertama : Desember 2018
ISBN : 602-5934-36-0
Peresensi : MAYA HARSASI *)
Elegi Seorang Pengajar Honorer
Penulis : PRIYANDONO
Editor. : S. Jai
Penerbit. : Pagan Press
Tebal. : 116 hal
Ukuran. : 13 x 20
Cetakan Pertama : Desember 2018
ISBN : 602-5934-36-0
Peresensi : MAYA HARSASI *)
Tugas mengajar dan mendidik bagi seorang guru sejatinya ditopang oleh banyak unsur. Keikhlasan, kemampuan berkomunikasi dan rasa welas terhadap anak, tidak akan berarti banyak tanpa didukung dengan penguasaan materi yang memadai. Maka, peningkatan kualitas diri menjadi harga mati untuk mengabdikan diri. Namun, pilihan cara untuk meningkatkan kualitas berbeda antara satu dengan yang lain. Ada yang lebih memilih berkhikmad dengan membersamai siswanya di kelas. Dua puluh empat jam siap untuk dihubungi untuk keperluan apapun yang berhubungan dengan mereka.
Peningkatan pengetahuan cukuplah dengan membaca beberapa buku atau koran seadanya, yang ada di perpustakaan sekolah. Namun jangan salah, dengan mengabdikan diri sepenuhnya ini para guru ini pada hakikatnya juga sedang mempelajari sumber ilmu yang tidak ada habisnya: siswa. Karakter unik mereka menjanjikan banyak ilmu, yang mungkin lebih aplikatif jika dibandingkan paparan seminar manapun.Tentunya, apabila digali dengan cara yang benar.
Tipe kedua, berusahaberdiri di tengah. Di satu sisi berusaha membersamai siswa sebanyak yang ia mampu namun di sisi lain juga ingin menguasai ilmu-ilmu 'luar'. Jalan tengahnya, guru ini biasanya menyukai diklat-diklat online. Walaupun harus banyak tombok untuk membeli kuota internet, namun tidak perlu meninggalkan keluarga maupun siswanya.
Tipe ketiga, ya seperti yang diceritakan Priyandono dalam novel ini. Rajin ikut bimtek, seminar, dan lomba-lomba guru yang keren-keren. Ilmunya jelas banyak, kenalannya juga banyak, apalagi sangunya. Namun jangan khawatir, mereka bukan tipe yang pelit berbagi ilmu. Dekati saja, maka ilmu-ilmu antahberantah dari bimtek satu ke bimtek lain akan diturunkan kepada kita, gratis tis. Pergaulan yang luas juga membuat pandangan mereka semakin luas.Maka, berbincang dengan mereka seperti minum es kelapa muda di teriknya siang. Segar, dengan ide-ide baru yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Namun ya itu, yang nyinyir juga banyak. Persis yang diceritakan ada dalam novel ini.
Saya memang belum pernah menjadi guru tipe ketiga ini, namun saya memahami benar tantangan yang dihadapi rekan-rekan yang memilih berkhikmad dengan jalur ini. Tipe pertama dan kedua, nampaknya memang 'aman'. Tetapi menjaga 'kewarasan' untuk membersamai anak-anak tanpa 'selingan' --saya menyebutnya begitu untuk acara guru yang keren-keren- juga bukan pekerjaan yang mudah. Belum lagi dihadapkan dengan pekerjaan administratif yang tak henti-hentinya, ditambah cicilan panci yang belum lunas...
Membaca novel ini adalah belajar memetik hikmah. Bahwa di balik 'gemerlapnya guru yang keren-keren itu, ada banyak tantangan yang menghadang. Guru biasa seperti saya, belum tentu punya ketahanan mental untuk menjalaninya. Pun juga mereka, belum tentu mampu berkhikmad seperti yang sedang kita jalani. Jalan yang kita tempuh mungkin berbeda, tetapi tujuannya sama. Maka, tebalkanlah buku ini ... Agar hikmah yang dapat dipetik semakin banyak.
( MAYA HARSASI, kawan lama tinggal di Semarang Jawa Tengah)
Langganan:
Postingan (Atom)