Buku-buku sejarah kelihatan tertata rapi
di rak perpustakaan. Fisiknya masih tampak bagus. Sepertinya tak pernah
disentuh sama sekali oleh para pengunjung. Apalagi dibaca. Setelah saya
konfirmasikan dengan petugas, ternyata benar. “Buku-buku sejarah jarang sekali
peminatnya, pak,” tukasnya dengan nada datar. Dalam catatan kami, selama dua
bulan terakhir ini tidak ada satupun pengunjung yang meminjam buku-buku sejarah,
imbuhnyanya.
Kesadaran
masyarakat terhadap sejarah bisa dibilang cukup rendah. Bagi mereka, membaca
buku sejarah seolah seperti melawan jaman. Tidak hanya itu, sejarah juga kerap
dipahami sebagai sebuah cerita masa lalu yang identik dengan dongeng penghantar
tidur. Hal ini diperburuk dengan kurang tersedianya ruang bagi mata pelajaran
sejarah di sekolah-sekolah formal. Akibatnya,upaya membangun kesadaran terhadap
pentingnya memahami sejarah menjadi terkendala.
Barangkali kita lupa,
mari kita simak sejenak peristiwa revolusi Perancis (abad 18). Negara yang diperintah
Raja Louis XVI itu mengalami krisis keuangan yang amat parah. Anggaran Negara selalu defisit, hutang negara
menumpuk. Mengapa ? Karena raja dan bangsawan hidup bergelimang kemewahan
dengan cara merampok uang rakyat.
Di negeri kita sendiri.
Pada masa demokrasi liberal (1950-1959) muncul banyak partai politik. Politik
dagang sapi sudah ada saat itu. Satu partai politik berkuasa, partai politik
yang lain berusaha untuk menjatuhkannya. Sehingga, dalam kurun waktu 9 tahun
terjadi 7 kali pergantian kabinet. Kecuali itu, persoalan hubungan pusat dan
daerah juga muncul ke permukaan kala
itu.
Barangkali kita lupa
tentang fakta di atas, sehingga di era reformasi parpol bermunculan seperti
jamur di musim penghujan. Celakanya, kuantitas organisasi politik dikedepankan,
sementara ketahanan dan efektifitas partai politik dipinggirkan. Demikian pula
hubungan pusat dan daerah. Otonomi daerah yang secara konseptual cukup bagus,
namun lemah dalam implementasinya. Dari tiga puluh delapan kewenangan pusat, 31
satu diantaranya diserahkan daerah. Hal inilah yang diduga menjadi salah satu
penyebab lahirnya “raja kecil” di
daerah.
Mungkin kita juga lupa,
bahwa pada tahun 1966 Mahasiswa Universitas Indonesia dan kesatuan aksi lainnya
demo menuntut Pemerintah membubakran PKI, perbaikan ekonomi, dan membersihkan
kabinet dari unsur PKI. Tuntutan tersebut kemudian kita kenal dengan Tritura
atau tiga tuntutan rakyat. Karena lupa itulah, maka tahun 1998 terjadi demo
besar-besaran kembali terulang.
Di sekolah, guru
sejarah menjelaskan bahwa penyebab utama runtuhnya VOC adalah korupsi. Karena lupa, sejarah kembali
terulang. Korupsi terjadi secara kasat mata di berbagai sektor. Lihat saja birokrat pendidikan yang mekanisme rekrutmennya melalui fit and
proper test, non partisan dan independent, namun dalam melakukan
tugasnya justru menyisakan persoalan etik yang mengejutkan. Diam-diam mereka
ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan kasus korupsi
Di
gedung dewan, wakil rakyat yang terhormat, yang pada saat kampanye lantang akan
memperjuangkan hak rakyat, diam-diam dilaporkan karena korupsi. Di kalangan
yudikatif, vonis palsu yang diketuk hakim dan atau jaksa nakal masih kerap
dijumpai. Sehingga menjadi hal yang tidak mengherankan bila lembaga adhyaksa
itu dicitrakan sebagai mafia peradilan yang sistemik.
Kalau kita mau belajar
sejarah, mestinya hal itu tidak perlu terjadi. Kalau kita sadar akan pentingnya
memahami sejarah, kesalahan-kesalahan tersebut tak akan terulang lagi.
Kurangnya pemahaman yang benar terhadap sejarah dengan segala dinamikanya
menggiring kita terperosok pada liang kesalahan yang sama.
Sejarah merupakan hal
yang sangat penting. Bung Karno mengingatkan kepada kita, jasmerah, jangan
sekali-kali melupakan sejarah. Dengan memahami serta memetik nilai dari
peristiwa masa lampau, maka kita dapat
menentukan sikap pada saat ini. Tindakan yang kita lakukan saat ini akan sangat
menentukan kesukseskan kita di masa mendatang. Inilah yang kerap disebut tiga
dimensi sejarah.
Sejarah memberikan sejumlah nilai yang amat berguna
bagi kehidupan manusia kini dan yang akan datang. Selain berfungsi edukatif,
inspiratif, dan rekreatif, sejarah juga berfungsi sebagai wahana melawan lupa.
Penulis-penulis kondang seperti Wayan
Sunarta, A.S. Laksana mengakui pentingnya sejarah. Sejarah selalu mengajari
kita banyak hal. “Melawan lupa adalah kewajiban kita semua. Mengenang dan
merenungi semua peristiwa yang telah terjadi adalah upaya kita memahami
sejarah,” paparnya.
Sejarah akan terus
mengalir. Berjalan, menggelinding bersamaan dengan bumi mengelilingi matahari.
Setiap warga Negara seyogianya memahami benar sejarah bangsanya sebagai jejak
masa lalu dengan segala dinamikanya. Pemahaman yang benar atas sejarah akan
melahirkan kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah inilah yang akan menuntun masyarakat
mengenal konsep diri sendiri sebagai bangsa. Ini penting karena niat dan
kreativitas untuk membangun bangsa tidak akan pernah muncul tanpa kesadaran
sejarah.
Terkecuali itu,
kesadaran sejarah akan membangkitkan syahwat seseorang untuk membangun bangsanya. Masyarakat yang tidak pernah
membaca buku sejarah maka dia tidak akan mengetahui revolusi yang pernah
menggetarkan bangsanya. Akibatnya mereka akan kesulitan menjaga momentum
pembangunan dan kemampuan kreatif bangsanya. Oleh karena itu, saat
ini merupakan momentum yang tepat untuk belajar sejarah. Caranya tidak ada
jalan lain kecuali membaca buku-buku sejarah.
Jangan takut dikatakan melawan jaman. (Radar Surabaya, Minggu 27/12/2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar