Sabtu, 21 November 2015

Membaca, Menulis, dan Budaya Keilmuan



Kalau Anda diberi buku, kemudian Anda bisa membacanya berarti Anda menguasai literasi. Kalau Anda sedang melakukan sebuah perjalanan, kemudian Anda melihat rambu-rambu lalu lintas namun Anda tidak bisa memahaminya sehingga tersesat di jalan, artinya Anda kurang menguasai literasi.
            Mereka yang gemar membaca adalah mereka memiliki citra kemandirian. Citra kemandirian menuntun seseorang untuk menemukan jatidirinya. Orang-orang yang sudah mengenal jatidirinya akan cepat dan mudah mengaktualisaikan diriya dalam kehidupan nyata. Sebaliknya, orang yang tidak gemar membaca akan sulit mengaktualisasikan diri. Ini sungguh sangat berbahaya karena akan mengaburkan jatidirinya.
            Tidak hanya itu, orang-orang yang gemar membaca adalah orang-orang yang memiliki wawasan luas. Salah satu cirinya, pikiran dan tindakannya selalu mengarah ke hal-hal yang sifatnya positif. Sebaliknya, orang yang sempit wawasannya karena kurang membaca, mereka picik terhadap kenyataan. Pikiran dan tindakannya tenggelam ke dalam hal-hal yang jauh dari kearifan.
            Namun realitas obyektif menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat, termasuk siswa, membaca belum menjadi sebuah tradisi. Budaya oral lebih menonjol daripada budaya baca, Kalau bicara satu hari pun kuat. Demikian juga nonton. Doyan banget. Berjam-jam di depan pesawat televise juga betah., Namun, kalau membaca, nanti dulu. Jangankan membaca, pegang buku saja enggan.
            Para guru dan orang tua jangan pernah bosan mengingatkan putra-putrinya untuk selalu membaca meskipun hanya satu lembar sehari. Waktunya bisa kapan saja, termasuk menjelang tidur. Sebab, setelah membaca, mata akan lelah dan mereka akan tidur dengan sendirinya, Biarkan anak-anak tidur didampingi buku.
            Apabila satu hari membaca satu lembar, tanpa terasa sebulan sudah 30 lembar (sama dengan 60 halaman). Kalau sudah jadi kebiasaan, ini bisa mengalami peningkatan, sebab kelanjutan bacaan bisa membuat pembacanya penasaran.
            Budaya literasi (keberaksaraan) pun mengalami perkembangan. Tidak cukup hanya membaca, tapi juga  menulis. Artinya, kalau Anda melakukan sesuatu, kemudian Anda membiarkan waktu berlalu begitu saja dan tidak melakukan apa-apa sama sekali (doing nothing), tidak bisa menuliskan apa yang telah tertangkap oleh indera, berarti Anda kurang menguasai literasi. Sebaliknya, kalau Anda melakukan sesuatu (doing something) menuliskan apa yang telah tertangkap oleh panca indera, berarti Anda menguasai literasi.
Pramudya Ananta Toer mengatakan, orang boleh pandai setinggi langit. Namun selama ia tidak menulis ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis merupakan salah satu aktivitas yang sangat sulit. Banyak yang mengaku kesulitan menulis. Baru satu dua kalimat dihapus. Sudah buntu, katanya. Ada yang sudah menulis satu paragraph, berhenti. Idenya kabur, akunya.Top of ForBottom of Form
Orang-orang yang piawai menulis jelas memiliki kualitas daya pembeda. Artinya,  kemampuan untuk “menyisihkan lawan” sudah terkantongi. Mereka memiliki intuisi yang sangat kuat saat mengolah kata. Selain itu seorang penulis mampu membayangkan apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Analisisnya kuat dan tajam. Analisis terhadap fenomena yang melibatkan imajinasinya mampu menjadikan gejala-gejala dalam kontek sosiologis itu menjadi lebih hidup, menarik, dan bermakna. Tidak hanya itu, penulis selalu melibatkan emosinya agar mampu memahami perasaan orang yang akan membaca karyanya.
 Di negeri kita sendiri misalnya, kita mengenal Kartini. Tanpa bermaksud mengecilkan perjuangan Kartini, sebenarnya banyak tokoh wanita yang sepak terjangnya tidak kalah heroiknya dengan Kartini. Ada Dewi Sartika, Cut Nya’ Dien, SK Trimurti, Fatmawati. Namun kenapa kok Kartini yang paling dikenal publik. Setiap hari kelahirannya diperingati sebagai hari Kartini.  Salah satu alasannya, Kartini memiliki kelebihan serta kualitas daya pembeda. Dia mau menulis mengungkapkan pikiran-pikiran, serta harapan-harapannya.
Keberaksaraan, membaca dan menulis ibarat sekeping mata uang logam. Kedua sisinya sama pentingnya. Literasi yang di dalamnya terkandung aktivitas membaca dan menulis menjadi salah satu katalisator dalam membangun sebuah peradaban suatu bangsa. Begitu pentingnya literasi Napoleon Bonaparte mengurungkan niatnya berperang melawan Mesir. Dia lebih memilih memboyong literasi Mesir kuno ke Perancis. Hal yang sama dilakukan Belanda ketika menduduki Indonesia. Sejumlah naskah  kuno diterbangkan ke Netherland. Sehingga kita harus bersusah payah belajar ke Leiden.
Menulis harus dijadikan budaya keilmuan. Setiap kita harus membiasakan menulis. Menulis saja, tidak usah berfikir apakah tulisan Anda nanti dicacimaki orang atau bahkan dipuji orang. Kalau Anda berfikir kalau tulisan Anda nanti bakal dicaci orang, saya yakin Anda tidak akan nulis-nulis. Karena dibayangi oleh perasaan takut diolok-olok. Sebaliknya, Anda juga tidak usah berfikir tulisan Anda bakal dipuji orang. Menjadi trending topik. Sebab kalau kenyataannya tidak demikian adanya, maka hal itu akan menjadi sesuatu yang menyesakkan dada.(Duta Masyarakat, 20/11/2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar