Minggu, 15 November 2015

Uji Kompetensi Guru


            Guru yang sudah lulus sertifikasi maupun yang belum sertifikasi akan di-terra ulang kompetensinya. Mereka harus mempersiapkan diri kembali untuk mengikuti Uji Kompetensi Guru  (UKG). Ya, pemerintah tahun ini menggelar UKGB serentak di seluruh Indonesia secara online November mendatang. Ada sekitar 3 juta guru akan mengikuti kegiatan tersebut. UKG kali ini bukan yang pertama sebab hal yang sama sudah pernah dilakukan pemerintah tahun 2012.         
Kehadiran UKG menjadi rasan-rasan hampir semua guru. Ada yang mengatakan UKG tidak memiliki dasar hukum. Ada pula yang mengatakan kalau tidak lulus UKG TPP-nya dihapus. Akibatnya banyak guru-guru yang resah. Apalagi ujiannya dilakukan dengan peralatan Teknologi Informasi. Bagi guru-guru yang belum akrab dengan komputer, jelas ini problem besar. Jangankan mempelajari materi, memikirkan nyekel mouse aja bothak kepalanya.
Kehadiran UKG seyogianya disambut secara terbuka dan diapresiasi secara positif. UKG bukan resertifikasi sehingga tidak perlu ada yang dikhawatirkan. UKG bertujuan untuk memetakan mutu guru sebagai dasar pelaksanaan pengembangan keprofesionalan berkelanjutan. Hasil UKG nantinya dijadikan entry point penilaian kinerja guru. Sebagai tenaga yang profesional. Karena itu guru harus siap kapan saja di-terra kembali kompetensinya. Jangan hanya mau tunjangannya saja, giliran diuji teriak-teriak. Itu tidak fair.
Guru dituntut untuk selalu mengembangkan sikap profesionalismenya. Kualitas proses dan hasil pendidikan sangat tergantung pada kedudukan, peranan, dan fungsi guru. Oleh karena itu Pemerintah memandang perlu menggelar uji kompetensi guru. Melalui UKG  dapat diketahui apakah pascasertifikasi kompetensi guru itu berkembang atau jalan di tempat. Manakala dengan UKG kompetensi guru mengalami peningkatan, maka mekanisme ini patut dipertahankan. Akan tetapi jika UKG tidak mampu mengerek kompetensi guru, maka perlu dievaluasi untuk dicarikan formulasi yang lebih tepat.
Sebenarnya ini sudah dilakukan Pemerintah. Peserta sertifikasi 2006 hingga 2010 menggunakan jalur portopolio. Namun setelah dilakukan penelitian ternyata guru yang lulus melalui jalur portopolio kompetensinya tidak lebih baik dari peserta sertifikasi yang lulus melalui jalur Pendidikan dan Latihan Profesi Guru. Diduga, karena banyak peserta yang memalsukan dokumen portopolio. Semua dokumen portopolio diduga kuat karena membeli. Sehingga sertifikat pendidik yang dimiliki bukan merupakan bukti kompetensi yang sebenarnya. Oleh karena itu mulai 2011 jalur portopolio diganti dengan PLPG
Menurut pendapat saya, idealnya UKG dilaksanakan 5 tahun sekali sesuai dengan dengan tahun perolehan sertifikat pendidik. Misalnya, tahun ini (2015) UKG untuk guru sertifikasi kuota tahun 2006 dan 2010. Tahun 2016 untuk kuota tahun 2007 dan 2011 dan seterusnya. Sehingga pelaksanaannya bisa lebih tertib. Guru yang akan mengikuti bisa melakukan persiapan. Tidak hanya itu, proses belajar mengajar juga tidak terganggu karena tidak banyak guru yang meninggalkan jam pelajaran. Kalau serentak seperti ini bisa-bisa sekolah diliburkan karena semua gurunya mengikuti UKG.
Melalui UKG dapat diketahui kompetensi masing-masing guru. Dengan begitu pemerintah dengan mudah melakukan pemetaan. Bagi guru, sisi positifnya adalah guru akan selalu siap setiap saat meng-update kemampuannya. Dengan selalu mengembangkan wawasan berarti citranya akan terkerek sehingga gampang untuk melakukan aktualisasi diri di habitatnya. Tidak hanya itu,  ketika kompetensi guru mengalami tren naik, maka profesionalimenya pun tidak diragukan. Guru yang profesional setiap tingkah polahnya akan selalu mengedepankan kearifan.
Apabila hasil UKG jeblok, maka pemerintah harus memutar otak. Biaya besar diperlukan untuk memberikan pelatihan terstruktur bagi guru yang tidak lulus. Padahal dana TPP setiap tahun selalu mengalami kenaikan. Guru yang tercecer di UKG akan mengalami beban psikis dan sosial yang amat berat. Ini bisa membuat citranya hancur. Pada saat yang bersamaan ia akan sulit mengaktualisasikan diri. Kondisi ini akan mengaburkan jati dirinya.
Sosialisasi UKG tahun ini cukup bagus dan proporsional. Semua guru bisa mengakses. Bisa men-download kisi-kisi soal sesuai mata pelajaran yang diampu. Bisa melakukan simulasi. Ada kesempatan untuk mempersiapkan diri. Mekanisnya bagus juga. Semua berbasis hightech. Transparan, karena usai menjawab soal bisa langsung diketahui hasilnya. Tanpa ada rekayasa atau intervensi dari pihak-pihak tertentu. Persoalannya hanya terletak pada kompetensi yang diukur, yakni kompetensi paedagogik dan akademik. Sementara kompetensi sosial dan kepribadian tidak diukur.
Mampukan UKG meningkatkan kualitas pendidikan? Mudah-mudahan. Tidak ada yang dapat memberikan kepastian sebab kualitas pendidikan itu tidak hanya ditentukan oleh guru saja. Masih banyak faktor yang memengaruhi. Misalnya, sarana dan prasarana belajar yang memadai, kedisiplinan dalam PBM, serta sistem ujian. Padahal untuk meningkatkan mutu guru saja masih banyak kendala yang dihadapi.
Misalnya kapasitas intelektual guru yang terbatas karena faktor bawaan atau gawan bayi. Meski diuji berkali-kali kalau dari “sananya” seperti itu ya saya pikir susah di-update. Kecuali itu ada juga kendala mentalitas. Sebelum ada sertifikasi profesi guru adalah profesi pelarian. Seseorang menjadi guru bukan karena panggilan jiwa. Baru ada sertifikasi ini saja profesi guru menjadi primadona. Tidak ada ruginya mengikuti UKG. Setidaknya kita bisa mengukur kemampuan diri kita sendiri (self Assessment).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar