Guru
yang sudah lulus sertifikasi maupun yang belum sertifikasi akan di-terra ulang kompetensinya.
Mereka harus mempersiapkan diri kembali untuk mengikuti Uji Kompetensi
Guru (UKG). Ya, pemerintah tahun ini
menggelar UKGB serentak di seluruh Indonesia secara online November mendatang. Ada sekitar 3 juta guru akan mengikuti kegiatan
tersebut. UKG kali ini bukan yang pertama sebab hal yang sama sudah pernah
dilakukan pemerintah tahun 2012.
Kehadiran UKG menjadi
rasan-rasan hampir semua guru. Ada yang mengatakan UKG tidak memiliki dasar
hukum. Ada pula yang mengatakan kalau tidak lulus UKG TPP-nya dihapus.
Akibatnya banyak guru-guru yang resah. Apalagi ujiannya dilakukan dengan peralatan
Teknologi Informasi. Bagi guru-guru yang belum akrab dengan komputer, jelas ini
problem besar. Jangankan mempelajari materi, memikirkan nyekel mouse aja bothak
kepalanya.
Kehadiran UKG seyogianya disambut secara
terbuka dan diapresiasi secara positif. UKG bukan resertifikasi sehingga tidak
perlu ada yang dikhawatirkan. UKG bertujuan untuk memetakan mutu guru sebagai
dasar pelaksanaan pengembangan keprofesionalan berkelanjutan. Hasil UKG
nantinya dijadikan entry point penilaian kinerja guru. Sebagai
tenaga yang profesional. Karena itu
guru harus siap kapan saja di-terra kembali kompetensinya. Jangan hanya mau
tunjangannya saja, giliran diuji teriak-teriak. Itu tidak fair.
Guru dituntut untuk
selalu mengembangkan sikap profesionalismenya. Kualitas proses dan hasil
pendidikan sangat tergantung pada kedudukan, peranan, dan fungsi guru. Oleh
karena itu Pemerintah memandang perlu menggelar uji kompetensi guru. Melalui
UKG dapat diketahui apakah pascasertifikasi
kompetensi guru itu berkembang atau jalan di tempat. Manakala dengan
UKG kompetensi guru mengalami peningkatan, maka mekanisme ini patut dipertahankan.
Akan tetapi jika UKG tidak mampu mengerek kompetensi guru, maka perlu
dievaluasi untuk dicarikan formulasi yang lebih tepat.
Sebenarnya ini sudah
dilakukan Pemerintah. Peserta sertifikasi 2006 hingga 2010 menggunakan jalur
portopolio. Namun setelah dilakukan penelitian ternyata guru yang lulus melalui
jalur portopolio kompetensinya tidak lebih baik dari peserta sertifikasi yang
lulus melalui jalur Pendidikan dan Latihan Profesi Guru. Diduga, karena banyak
peserta yang memalsukan dokumen portopolio. Semua dokumen portopolio diduga
kuat karena membeli. Sehingga sertifikat pendidik yang dimiliki bukan merupakan
bukti kompetensi yang sebenarnya. Oleh karena itu mulai 2011 jalur portopolio
diganti dengan PLPG
Menurut pendapat saya,
idealnya UKG dilaksanakan 5 tahun sekali
sesuai dengan dengan tahun perolehan sertifikat pendidik.
Misalnya, tahun ini (2015)
UKG untuk guru sertifikasi kuota tahun 2006
dan 2010. Tahun 2016 untuk kuota tahun 2007 dan 2011
dan seterusnya. Sehingga pelaksanaannya bisa lebih tertib. Guru yang akan
mengikuti bisa melakukan persiapan. Tidak hanya itu, proses belajar mengajar
juga tidak terganggu karena tidak banyak guru yang meninggalkan jam pelajaran.
Kalau serentak seperti ini bisa-bisa sekolah diliburkan karena semua gurunya
mengikuti UKG.
Melalui
UKG
dapat diketahui kompetensi masing-masing guru. Dengan begitu pemerintah dengan
mudah melakukan pemetaan. Bagi guru, sisi positifnya adalah guru akan selalu
siap setiap saat meng-update
kemampuannya. Dengan selalu mengembangkan wawasan berarti citranya akan
terkerek sehingga gampang untuk melakukan aktualisasi diri di habitatnya. Tidak
hanya itu, ketika kompetensi guru
mengalami tren naik, maka profesionalimenya pun tidak diragukan. Guru yang
profesional setiap tingkah polahnya akan selalu mengedepankan kearifan.
Apabila
hasil UKG jeblok,
maka pemerintah harus memutar otak. Biaya besar
diperlukan untuk memberikan pelatihan terstruktur bagi guru yang tidak lulus.
Padahal dana TPP setiap tahun selalu mengalami kenaikan. Guru yang tercecer di
UKG akan mengalami beban psikis dan
sosial yang amat berat. Ini bisa membuat citranya hancur. Pada saat yang
bersamaan ia akan sulit mengaktualisasikan diri. Kondisi ini akan mengaburkan
jati dirinya.
Sosialisasi UKG tahun
ini cukup bagus dan proporsional. Semua guru bisa mengakses. Bisa men-download kisi-kisi soal sesuai mata
pelajaran yang diampu. Bisa melakukan simulasi. Ada kesempatan untuk
mempersiapkan diri. Mekanisnya bagus juga. Semua berbasis hightech. Transparan, karena usai menjawab soal bisa langsung
diketahui hasilnya. Tanpa ada rekayasa atau intervensi dari pihak-pihak
tertentu. Persoalannya hanya terletak pada kompetensi yang diukur, yakni
kompetensi paedagogik dan akademik. Sementara kompetensi sosial dan kepribadian
tidak diukur.
Mampukan UKG
meningkatkan kualitas pendidikan? Mudah-mudahan. Tidak ada yang dapat memberikan kepastian sebab kualitas
pendidikan itu tidak hanya ditentukan oleh guru saja. Masih banyak faktor yang
memengaruhi. Misalnya, sarana dan prasarana belajar yang memadai, kedisiplinan
dalam PBM, serta sistem ujian. Padahal untuk meningkatkan mutu guru saja masih
banyak kendala yang dihadapi.
Misalnya kapasitas
intelektual guru yang terbatas karena faktor bawaan atau gawan bayi. Meski diuji berkali-kali kalau dari “sananya” seperti
itu ya saya pikir susah di-update. Kecuali itu ada juga kendala
mentalitas. Sebelum ada sertifikasi profesi guru adalah profesi pelarian.
Seseorang menjadi guru bukan karena panggilan jiwa. Baru ada sertifikasi ini
saja profesi guru menjadi primadona.
Tidak
ada ruginya mengikuti UKG. Setidaknya kita bisa mengukur kemampuan diri kita
sendiri (self Assessment).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar