Meskipun Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) baru akan diberlakukan 15 Desember 2015 mendatang, aroma
liberlaisasi sudah tercium sejak dimulainya pasar bebas ASEAN (AFTA) pada 1
Januari 2003. Arus liberalisasi pendidikan semakin tak terbendung. UU No
20/2003 memberikan angin segar bagi lembaga pendidikan asing untuk membuka
cabang di Indonesia. Pasal 65 ayat (1) menyatakan, ''Lembaga pendidikan asing
yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan
pendidikan di wilayah Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.''
Implikasinya, lembaga
pendidikan asing menjamur. Di Jakarta, misalnya, ada Singapore Primary School Kelapa Gading, Swiss German University di Serpong. Di Kota Pahlawan, ada Surabaya Japanese School.
Sekolah-sekolah asing tersebut mengembangkan kurikulum berstandar internasional
dan tergabung dalam International
Baccalaureate Organization (IBO). Formulasinya, sekolah asing berdiri
dengan peserta didik anak Indonesia, namun kurikulum dari negara asal.
Meski tergolong mahal,
peminat sekolah asing cukup banyak. Terutama dari kalangan wali murid yang
berpendidikan tinggi dan tentu juga dari kalangan the have. Mereka merasa lebih
percaya menitipkan anaknya ngangsu kawruh ke sekolah asing daripada sekolah
lokal. Karena itu, jamak dijumpai sekolah asing nolak-nolak siswa. Pagunya
sudah terpenuhi jauh sebelum penerimaan siswa baru (PSB) dibuka.
Meski begitu,
keberadaan sekolah asing tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, selain mampu
menumbuhkan kompetisi pendidikan, kehadirannya merupakan sebuah jawaban atas
keinginan masyarakat tentang perbandingan kualitas pendidikan. Semakin banyak
lembaga pendidikan, tentu akan semakin banyak pilihan. Dengan begitu,
masyarakat akan cepat dan tepat menentukan pilihan bagi pendidikan putra
putrinya.
Bukan hanya itu,
banyaknya sekolah asing yang beredar memberikan keuntungan secara ekonomi.
Sebab, banyaknya siswa/mahasiswa yang sekolah di luar negeri hanya menguras
devisa negara. Dengan adanya sekolah asing di Indonesia, tentu mampu mengurangi
jumlah siswa/mahasiswa yang sekolah ke luar negeri. Bayangkan berapa besar
devisa negara yang bisa diamankan.
Terkait liberalisasi
pendidikan, pemerintah telah menyusun regulasi baru dan terobosan-terobosan
yang sarat inovasi agar sekolah-sekolah domestik beserta para gurunya memiliki
daya saing dan benar-benar siap memasuki era liberalisasi pendidikan yang
sesungguhnya.
Daya
Saing Global
Keunggulan negara
sekarang tidak lagi diukur dari melimpahnya sumber daya alam, melainkan
ditentukan dari kualitas sumber daya manusia (SDM). Upaya meningkatkan SDM, tak
bisa dipisahkan dari kedudukan, peran, dan fungsi guru. Kita bisa membaca,
menulis, dan berhitung karena diajari guru. Kita bisa mendapat pekerjaan layak,
guru jualah yang mengantarkannya. Kita bisa berkreasi, berinovasi, dan
berwirausaha, tetap guru yang memiliki andil besar. Tanpa guru, kita tak akan
bisa seperti ini.
Guru bagaikan dian
penerang dalam gulita. Mereka selalu mengasihi dan menyayangi siswa siswinya.
Mereka tak kenal lelah membagi ilmu. Mereka juga tak putus asa membimbing anak
didiknya agar menjadi anak yang berguna. Di era global ini sudah sepatutnya
guru diberi ruang agar berkarya dan memberi yang terbaik bagi putra-putrinya.
Mereka harus dimotivasi agar selalu kreatif dan inovatif mengemas isi
pembelajaran. Selaras dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UUSPN) Pasal 40 Ayat (2) huruf a: pendidik dan tenaga
kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna,
menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.
Globalisasi meretas
batas antarnegara. Lalu lintas tenaga kerja termasuk guru semakin ramai.
Sekolah-sekolah asing tumbuh subur di Tanah Air. Akibatnya, liberalisasi
pendidikan tak terhindarkan. Sekolah domestik mau tidak mau harus berjibaku
menghadapi kepungan sekolah asing. Membangun pendidikan go international
menjadi sebuah keniscayaan. Guru-guru pun harus bersaing dengan guru
ekspatriat.
Agar mampu bersaing di
era liberalisasi pendidikan, setidaknya ada empat hal yang patut diperhatikan. Pertama,
merancang program sistem kredit semester (SKS). Program tersebut dirancang
dengan prinsip keadilan. Artinya, siswa yang memiliki kecepatan belajar berhak
menyelesaikan studinya lebih awal (acceleration).
Di samping itu, proses pembelajarannya harus berbasis teknologi informasi dan
komunikasi.
Kedua, guru harus
senantiasa mengasah kemampuannya dalam berbahasa asing. Ini tak bisa ditawar
karena masyarakat lebih suka menyekolahkan anaknya ke sekolah yang
menyelenggarakan bilingual programme.
Yakni program sekolah yang mengarah pada pemakaian dua bahasa, bahasa Indonesia
dan asing.
Ketiga, guru harus high-tech. Ini penting untuk
menyukseskan e-learning program, yaitu program sekolah yang mengarah pada
kegiatan pendidikan yang berbasis pada teknologi informasi dan komunikasi
(TIK). Produk-produk TIK akan menuntun guru lebih kreatif dan inovatif dalam
mengemas kegiatan belajar mengajar. Sehingga kegiatan pembelajaran menjadi
lebih dinamis, menarik, dan menyenangkan
Keempat, guru harus
menulis. Guru harus menjadi pelopor dalam research
and development programme. Program sekolah yang diarahkan pada penciptaan
sekolah sebagai lembaga riset. Budaya menulis harus dijadikan tradisi keilmuan
di sekolah. Guru yang terbiasa melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) dan
hasilnya diformulasikan dalam bentuk karya tulis, ia akan mudah mendiagnosis
siswanya yang kesulitan belajar. Sebaliknya, guru yang alergi terhadap kegiatan
menulis dan ogah melakukan PTK, tanpa disadari sebenarnya telah membiarkan anak
didiknya berada dalam situasi ketidaktahuan. Artinya, sama dengan melakukan
pembodohan.
Bila guru terus menerus
memerhatikan dan melakukan tiga hal di atas, berarti guru telah memiliki daya
pembeda dengan yang lain. Artinya kekuatan untuk bersaing dengan sekolah asing
maupun guru ekspatriat telah terkantongi. Dan upaya membangun sekolah unggul
yang didambakan masyarakat bukan lagi sebuah utopia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar