Minggu, 15 November 2015

Para Guru Pemuja Ajisaka


Cerita Ajisaka begitu sangat popular dalam tradisi budaya Jawa. Masyarakat pun mengagung-agungkannya, karena Ksatria dari Hindustan itu mampu menumbangkan hegemoni politik raja Medhangkamulan di tanah Jawa, Dewata Cengkar yang dikenal sebagai raja kanibal, raja yang suka memakan daging manusia. Konon, abjad Jawa (aksara legena) yang jumlahnya 20 huruf itu berawal dari folklore ini.
Dikisahkan, panggilan suci untuk melawan keangkaramurkaan Dewatacengkar memaksa Ajisaka meninggalkan Hindustan menuju ke tanah Jawa. Selama perjalanan Ajisaka tidak bisa dipisahkan dengan dua orang abdi kinasih yang setia menemaninya, yakni Dora dan Sembada. Untuk melawan Dewatacengkar dia mengajak Dora yang bertubuh  kekar dan tajam pandangannya. Sementara Sembada yang berwajah lembut dan tenang langkahnya ditinggal di pulau Majethi sambil menunggui keris pusakanya. Ajisaka dhawuh,” Jangan tinggalkan tempat ini bila bukan aku sendiri yang hadir memerintahmu. Dan jangan serahkan pusakaku ini kepada siapapun selain aku. Jaga betul-betul pesan ini meski kau harus kehilangan nyawamu sekalipun!”       
Singkat cerita, setelah berhasil menumbangkan Prabu Dewatacengkar dan menjadi raja Jawa, tiba-tiba Ajisaka ingat kepada Sembada. Seketika itu pula Dora diperintahkan untuk menjemputnya. Berkatalah Ajisaka,” Dora, berangkatlah kau ke pulau Majethi. Susul dan ajak Sembada ke sini. Namun bila Sembada memang tak berkenan karena merasa lebih betah tinggal di sana, cukuplah Kau meminta pusaka yang dulu aku titipkan kepadanya,”. Jangan engkau kembali ke kerajaan sebelum semua tugas kamu tuntaskan. Nyawamu jadi taruhan baktimu, sambungnya.
“Sendika dhawuh,” jawab Dora menyanggupi perintah rajanya. Dia  segera berangkat melaksanakan titah rajanya. Sampai di pulau Majethi keduanya bersitegang. Sembada tidak mau menyerahkan pusaka titipan Ajisaka kepada Dora karena Sembada ngugemi pesan Ajisaka kala akan meninggalkannya. Dora bersikeras meminta pusaka itu karena dia merasa mendapat perintah dari rajanya. Adu mulut semakin memanas, perang pun tak bisa dihindari. Kedua abdi Ajisaka terlibat perang yang hebat dan karena sama-sama saktinya keduanya pun mati dalam pertempuran tersebut.
Raut muka Ajisaka tampak ciut kala mendengar kabar kedua abdinya tewas. Hari-harinya dia lewatkan sendiri tanpa Dora dan Sembada. Ajisaka kemudian mengenang peristiwa kematian kedua abdinya dengan membuat empat gatra (baris) kalimat yang kemudian dikenal sebagai aksara Jawa. Ha-Na-Ca-Ra-Ka (Artinya, ada utusan yakni Dora diutus untuk menyusul Sembada di Pulau Majethi). Da-Ta-Sa-Wa-La (Artinya, kedua Dora dan Sembada bertengkar karena sama sama menjalankan titah rajanya). Pa-Dha-Ja-Ya-Nya (Artinya, keduanya sama-sama saktinya). Ma-Ga-Ba-Tha-Nga (Artinya, Dora dan Sembada sama-sama tewas dan jadi bangkai kalau dalam bahasa Jawa bathang)
Tidak jelas apa maksud Ajisaka memerintah Dora untuk menjemput Sembada. Apakah dia ingin menikmati kebersamaan di Jawa bersama kedua abdinya. Apa dia memang sedang membutuhkan pusaka piandelnya. Atau ia khawatir dikudeta oleh abdinya. Kita tidak tahu. Yang jelas Ajisaka telah membuat kebijakan yang tidak populis dan cenderung kontroversi yang membuat kedua pembantunya terlibat dalam pertengkaran bahkan pertempuran yang mengantarkan keduanya ke alam baka.
Cerita Ajisaka tiba-tiba melintas dalam benak saya ketika seorang sahabat  menawariku untuk mengajar bahasa Jawa. Kisah ini banyak memberikan pelajaran yang sangat berharga. Ajisaka adalah simbol seorang penguasa, sementara Dora dan Sembada merupakan simbol rakyat. Kalau dalam organisasi sekolah Ajisaka merupakan simbol guru, sementara Dora dan sembada adalah simbol murid. Begitu seterusnya, kalau Ajisaka menjadi simbol Kasek, maka Dora dan Sembada mewakili guru-guru.
Tentunya tidak setiap guru dan atau kasek itu seperti Ajisaka, suka membuat perintah atau aturan yang kontroversial. Banyak guru yang dicintai murid-muridnya. Kehadirannya selalu dirindukan oleh murid-muridnya. Di hadapan muridnya guru bagaikan buku yang berjalan. Selain pusat informasi, guru dianggap sebagai sosok yang serba tahu. Banyak guru yang seperti dian, penerang dalam gulita. Mereka selalu mengasihi dan menyayangi siswa siswinya. Mereka tak kenal lelah membagi ilmu. Mereka juga tak putus asa membimbing anak didiknya agar menjadi anak yang berguna. Berkat tangan dinginnya, kita bisa membaca, menulis, dan berhitung. Kita bisa mendapat pekerjaan layak, guru jualah yang mengantarkannya. Kita bisa berkreasi, berinovasi, dan berwirausaha, tetap guru yang memiliki andil besar. Tanpa guru, kita tak akan bisa seperti ini.
Banyak juga kasek yang disukai guru-gurunya. Eksistensinya sangat dibutuhkan sebagai kreator di sekolah. Nasehat-nasehatnya yang sangat menyejukkan selalu dinantikan para guru. Mereka ibarat “pesilat” yang suka membantu guru-guru yang dilanda kesulitan, bukan “petinju” yang selalu menggenggam tangannya. Tenaga, waktu, serta pikirannya secara penuh didonasikan untuk kemajuan sekolah. Mereka selalu bekerja melebihi dari amanah yang diberikan.
Kisah Ajisaka ini cocok untuk dongeng penghantar tidur, akan tetapi akan menjadi sangat menyedihkan kalau dijadikan ilham untuk mengelola sesuah institusi semacam sekolah atau lembaga pendidikan lainnya sesuai perkembangan zaman. Tugas utama guru adalah mengajar dan didik. Dalam menjalankan profesinya itu mereka selalu menyampaikan pesan, bertutur kata kepada murid-muridnya. Kata Aldous Huxley, kata-kata dapat membuat seseorang menjadi lebih tinggi ketimbang hewan dan  kata-kata pulalah yang bisa membuat seseorang merosot seperti setan.
Oleh karena itu guru maupun guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah harus senantiasa menjaga ucapan yang keluar dari mulutnya agar tidak merosot ke level setan. Jika guru memberikan nasehat kepada siswa-siswi, sementara dia hanya bisa mengagumi petuahnya sendiri tanpa bisa membuktikannya dalam bentuk tindakan nyata, maka sebenarnya guru tersebut hanya akan  membuat siswa-siswanya kehilangan asa.
Kalau itu yang terjadi apa kata para siswa. Jika tidak ingin mendapat predikat buruk di mata murid-murid, maka buktikan kata-kata Anda. Kalau guru menyuruh siswanya menulis artikel, maka guru harus lebih dahulu memberikan contoh tulisan kepada murid-muridnya. Saya yakin guru sudah sangat mengerti dan paham tentang hal itu.
Keteladanan adalah sebuah keniscayaan. “ Anak - anak itu tidak pandai mendengar apa yang dikatakan guru, akan tetapi anak-anak tidak pernah gagal dalam meniru mereka,” tutur James Baldwin.
Maafkan saya, barangkali ada yang kurang berkenan karena menganggap saya terlalu berlebihan menyampaikan kisah Ajisaka sebagai prolog dalam pembicaraan masalah keteladanan.  
-----------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar