Cerita Ajisaka begitu
sangat popular dalam tradisi budaya Jawa. Masyarakat pun mengagung-agungkannya,
karena Ksatria dari Hindustan itu mampu menumbangkan hegemoni politik raja
Medhangkamulan di tanah Jawa, Dewata Cengkar yang dikenal sebagai raja kanibal,
raja yang suka memakan daging manusia. Konon, abjad Jawa (aksara legena) yang
jumlahnya 20 huruf itu berawal dari folklore ini.
Dikisahkan, panggilan
suci untuk melawan keangkaramurkaan Dewatacengkar memaksa Ajisaka meninggalkan
Hindustan menuju ke tanah Jawa. Selama perjalanan Ajisaka tidak bisa dipisahkan
dengan dua orang abdi kinasih yang setia menemaninya, yakni Dora dan Sembada.
Untuk melawan Dewatacengkar dia mengajak Dora yang bertubuh kekar dan tajam pandangannya. Sementara
Sembada yang berwajah lembut dan tenang langkahnya ditinggal di pulau Majethi
sambil menunggui keris pusakanya. Ajisaka dhawuh,”
Jangan tinggalkan tempat ini bila
bukan aku sendiri yang hadir memerintahmu. Dan jangan serahkan pusakaku ini kepada
siapapun selain aku. Jaga betul-betul pesan ini meski kau harus kehilangan
nyawamu sekalipun!”
Singkat cerita, setelah
berhasil menumbangkan Prabu Dewatacengkar dan menjadi raja Jawa, tiba-tiba Ajisaka
ingat kepada Sembada. Seketika itu pula Dora diperintahkan untuk menjemputnya.
Berkatalah Ajisaka,” Dora, berangkatlah kau ke pulau Majethi. Susul dan ajak
Sembada ke sini. Namun
bila Sembada memang tak berkenan karena merasa lebih betah tinggal di sana,
cukuplah Kau meminta pusaka yang dulu aku titipkan kepadanya,”. Jangan engkau kembali
ke kerajaan sebelum semua tugas kamu tuntaskan. Nyawamu jadi taruhan baktimu,
sambungnya.
“Sendika dhawuh,” jawab Dora menyanggupi perintah rajanya. Dia
segera berangkat melaksanakan titah rajanya. Sampai di pulau
Majethi keduanya bersitegang. Sembada tidak mau menyerahkan pusaka titipan
Ajisaka kepada Dora karena Sembada ngugemi
pesan Ajisaka kala akan meninggalkannya. Dora bersikeras meminta pusaka itu
karena dia merasa mendapat perintah dari rajanya. Adu mulut semakin memanas,
perang pun tak bisa dihindari. Kedua abdi Ajisaka terlibat perang yang hebat
dan karena sama-sama saktinya keduanya pun mati dalam pertempuran tersebut.
Raut muka Ajisaka tampak ciut kala mendengar kabar kedua
abdinya tewas. Hari-harinya dia lewatkan sendiri tanpa Dora dan Sembada. Ajisaka
kemudian mengenang peristiwa kematian kedua abdinya dengan membuat empat gatra (baris) kalimat yang kemudian
dikenal sebagai aksara Jawa. Ha-Na-Ca-Ra-Ka (Artinya, ada utusan yakni Dora
diutus untuk menyusul Sembada di Pulau Majethi). Da-Ta-Sa-Wa-La (Artinya, kedua
Dora dan Sembada bertengkar karena sama sama menjalankan titah rajanya).
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya (Artinya, keduanya sama-sama saktinya). Ma-Ga-Ba-Tha-Nga (Artinya,
Dora dan Sembada sama-sama tewas dan jadi bangkai kalau dalam bahasa Jawa
bathang)
Tidak jelas apa maksud
Ajisaka memerintah Dora untuk menjemput Sembada. Apakah dia ingin menikmati
kebersamaan di Jawa bersama kedua abdinya. Apa dia memang sedang membutuhkan
pusaka piandelnya. Atau ia khawatir
dikudeta oleh abdinya. Kita tidak tahu. Yang jelas Ajisaka telah membuat
kebijakan yang tidak populis dan cenderung kontroversi yang membuat kedua
pembantunya terlibat dalam pertengkaran bahkan pertempuran yang mengantarkan
keduanya ke alam baka.
Cerita Ajisaka
tiba-tiba melintas dalam benak saya ketika seorang sahabat menawariku untuk mengajar bahasa Jawa. Kisah
ini banyak memberikan pelajaran yang sangat berharga. Ajisaka adalah simbol
seorang penguasa, sementara Dora dan Sembada merupakan simbol rakyat. Kalau
dalam organisasi sekolah Ajisaka merupakan simbol guru, sementara Dora dan
sembada adalah simbol murid. Begitu seterusnya, kalau Ajisaka menjadi simbol
Kasek, maka Dora dan Sembada mewakili guru-guru.
Tentunya tidak setiap
guru dan atau kasek itu seperti Ajisaka, suka membuat perintah atau aturan yang
kontroversial. Banyak guru yang dicintai murid-muridnya. Kehadirannya selalu
dirindukan oleh murid-muridnya. Di hadapan muridnya guru bagaikan buku yang
berjalan. Selain pusat informasi, guru dianggap sebagai sosok yang serba tahu.
Banyak guru yang seperti dian, penerang dalam gulita. Mereka selalu mengasihi
dan menyayangi siswa siswinya. Mereka tak kenal lelah membagi ilmu. Mereka juga
tak putus asa membimbing anak didiknya agar menjadi anak yang berguna. Berkat
tangan dinginnya, kita bisa membaca, menulis, dan berhitung. Kita bisa mendapat
pekerjaan layak, guru jualah yang mengantarkannya. Kita bisa berkreasi,
berinovasi, dan berwirausaha, tetap guru yang memiliki andil besar. Tanpa guru,
kita tak akan bisa seperti ini.
Banyak juga kasek yang
disukai guru-gurunya. Eksistensinya sangat dibutuhkan sebagai kreator di
sekolah. Nasehat-nasehatnya yang sangat menyejukkan selalu dinantikan para
guru. Mereka ibarat “pesilat” yang suka membantu guru-guru yang dilanda
kesulitan, bukan “petinju” yang selalu menggenggam tangannya. Tenaga, waktu,
serta pikirannya secara penuh didonasikan untuk kemajuan sekolah. Mereka selalu
bekerja melebihi dari amanah yang diberikan.
Kisah Ajisaka ini cocok
untuk dongeng penghantar tidur, akan tetapi akan menjadi sangat menyedihkan kalau
dijadikan ilham untuk mengelola sesuah institusi semacam sekolah atau lembaga
pendidikan lainnya sesuai perkembangan zaman. Tugas utama guru adalah mengajar
dan didik. Dalam menjalankan profesinya itu mereka selalu menyampaikan pesan, bertutur
kata kepada murid-muridnya. Kata Aldous Huxley, kata-kata dapat membuat
seseorang menjadi lebih tinggi ketimbang hewan dan kata-kata pulalah yang bisa membuat seseorang
merosot seperti setan.
Oleh karena itu guru
maupun guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah harus
senantiasa menjaga ucapan yang keluar dari mulutnya agar tidak merosot ke level
setan. Jika guru memberikan nasehat kepada siswa-siswi, sementara dia hanya
bisa mengagumi petuahnya sendiri tanpa bisa membuktikannya dalam bentuk
tindakan nyata, maka sebenarnya guru tersebut hanya akan membuat siswa-siswanya kehilangan asa.
Kalau itu yang terjadi
apa kata para siswa. Jika tidak ingin mendapat predikat buruk di mata
murid-murid, maka buktikan kata-kata Anda. Kalau guru menyuruh siswanya menulis
artikel, maka guru harus lebih dahulu memberikan contoh tulisan kepada
murid-muridnya. Saya yakin guru sudah sangat mengerti dan paham tentang hal
itu.
Keteladanan adalah
sebuah keniscayaan. “
Anak - anak itu tidak pandai mendengar apa yang dikatakan guru, akan tetapi
anak-anak tidak pernah gagal dalam meniru mereka,” tutur James Baldwin.
Maafkan saya, barangkali ada yang kurang berkenan karena
menganggap saya terlalu berlebihan menyampaikan kisah Ajisaka sebagai prolog
dalam pembicaraan masalah keteladanan.
-----------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar