Sabtu, 21 November 2015

Membaca, Menulis, dan Budaya Keilmuan



Kalau Anda diberi buku, kemudian Anda bisa membacanya berarti Anda menguasai literasi. Kalau Anda sedang melakukan sebuah perjalanan, kemudian Anda melihat rambu-rambu lalu lintas namun Anda tidak bisa memahaminya sehingga tersesat di jalan, artinya Anda kurang menguasai literasi.
            Mereka yang gemar membaca adalah mereka memiliki citra kemandirian. Citra kemandirian menuntun seseorang untuk menemukan jatidirinya. Orang-orang yang sudah mengenal jatidirinya akan cepat dan mudah mengaktualisaikan diriya dalam kehidupan nyata. Sebaliknya, orang yang tidak gemar membaca akan sulit mengaktualisasikan diri. Ini sungguh sangat berbahaya karena akan mengaburkan jatidirinya.
            Tidak hanya itu, orang-orang yang gemar membaca adalah orang-orang yang memiliki wawasan luas. Salah satu cirinya, pikiran dan tindakannya selalu mengarah ke hal-hal yang sifatnya positif. Sebaliknya, orang yang sempit wawasannya karena kurang membaca, mereka picik terhadap kenyataan. Pikiran dan tindakannya tenggelam ke dalam hal-hal yang jauh dari kearifan.
            Namun realitas obyektif menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat, termasuk siswa, membaca belum menjadi sebuah tradisi. Budaya oral lebih menonjol daripada budaya baca, Kalau bicara satu hari pun kuat. Demikian juga nonton. Doyan banget. Berjam-jam di depan pesawat televise juga betah., Namun, kalau membaca, nanti dulu. Jangankan membaca, pegang buku saja enggan.
            Para guru dan orang tua jangan pernah bosan mengingatkan putra-putrinya untuk selalu membaca meskipun hanya satu lembar sehari. Waktunya bisa kapan saja, termasuk menjelang tidur. Sebab, setelah membaca, mata akan lelah dan mereka akan tidur dengan sendirinya, Biarkan anak-anak tidur didampingi buku.
            Apabila satu hari membaca satu lembar, tanpa terasa sebulan sudah 30 lembar (sama dengan 60 halaman). Kalau sudah jadi kebiasaan, ini bisa mengalami peningkatan, sebab kelanjutan bacaan bisa membuat pembacanya penasaran.
            Budaya literasi (keberaksaraan) pun mengalami perkembangan. Tidak cukup hanya membaca, tapi juga  menulis. Artinya, kalau Anda melakukan sesuatu, kemudian Anda membiarkan waktu berlalu begitu saja dan tidak melakukan apa-apa sama sekali (doing nothing), tidak bisa menuliskan apa yang telah tertangkap oleh indera, berarti Anda kurang menguasai literasi. Sebaliknya, kalau Anda melakukan sesuatu (doing something) menuliskan apa yang telah tertangkap oleh panca indera, berarti Anda menguasai literasi.
Pramudya Ananta Toer mengatakan, orang boleh pandai setinggi langit. Namun selama ia tidak menulis ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis merupakan salah satu aktivitas yang sangat sulit. Banyak yang mengaku kesulitan menulis. Baru satu dua kalimat dihapus. Sudah buntu, katanya. Ada yang sudah menulis satu paragraph, berhenti. Idenya kabur, akunya.Top of ForBottom of Form
Orang-orang yang piawai menulis jelas memiliki kualitas daya pembeda. Artinya,  kemampuan untuk “menyisihkan lawan” sudah terkantongi. Mereka memiliki intuisi yang sangat kuat saat mengolah kata. Selain itu seorang penulis mampu membayangkan apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Analisisnya kuat dan tajam. Analisis terhadap fenomena yang melibatkan imajinasinya mampu menjadikan gejala-gejala dalam kontek sosiologis itu menjadi lebih hidup, menarik, dan bermakna. Tidak hanya itu, penulis selalu melibatkan emosinya agar mampu memahami perasaan orang yang akan membaca karyanya.
 Di negeri kita sendiri misalnya, kita mengenal Kartini. Tanpa bermaksud mengecilkan perjuangan Kartini, sebenarnya banyak tokoh wanita yang sepak terjangnya tidak kalah heroiknya dengan Kartini. Ada Dewi Sartika, Cut Nya’ Dien, SK Trimurti, Fatmawati. Namun kenapa kok Kartini yang paling dikenal publik. Setiap hari kelahirannya diperingati sebagai hari Kartini.  Salah satu alasannya, Kartini memiliki kelebihan serta kualitas daya pembeda. Dia mau menulis mengungkapkan pikiran-pikiran, serta harapan-harapannya.
Keberaksaraan, membaca dan menulis ibarat sekeping mata uang logam. Kedua sisinya sama pentingnya. Literasi yang di dalamnya terkandung aktivitas membaca dan menulis menjadi salah satu katalisator dalam membangun sebuah peradaban suatu bangsa. Begitu pentingnya literasi Napoleon Bonaparte mengurungkan niatnya berperang melawan Mesir. Dia lebih memilih memboyong literasi Mesir kuno ke Perancis. Hal yang sama dilakukan Belanda ketika menduduki Indonesia. Sejumlah naskah  kuno diterbangkan ke Netherland. Sehingga kita harus bersusah payah belajar ke Leiden.
Menulis harus dijadikan budaya keilmuan. Setiap kita harus membiasakan menulis. Menulis saja, tidak usah berfikir apakah tulisan Anda nanti dicacimaki orang atau bahkan dipuji orang. Kalau Anda berfikir kalau tulisan Anda nanti bakal dicaci orang, saya yakin Anda tidak akan nulis-nulis. Karena dibayangi oleh perasaan takut diolok-olok. Sebaliknya, Anda juga tidak usah berfikir tulisan Anda bakal dipuji orang. Menjadi trending topik. Sebab kalau kenyataannya tidak demikian adanya, maka hal itu akan menjadi sesuatu yang menyesakkan dada.(Duta Masyarakat, 20/11/2015)

Dari Smansa Untuk Indonesia



Sejumlah pelajar SMAN 1 Gresik mendatangi kantor Pemerintah Kabupaten Gresik Selasa (03/11). Mengenakan seragam biru putih dibalut jaket almamater warna merah, Ainurrahmah, Anggita Putri Samara, Agnes Aurora Ngelo, Hayyu Mahhabbah, Wicaksono, dan Rafif Nova Riantama datang tepat pukul 08.00 WIB.  Kedatangan mereka didampingi Suswanto, kepala sekolah dan Sudiyono staf Tata Usaha.
            Meraka adalah siswa-siswa berprestasi yang telah mengharumkan nama Gresik, bahkan Jawa Timur. Kehadiran mereka disambut dengan tangan terbuka dan senang hati oleh pejabat Bupati Gresik Akmal Boedianto. Di hadapan pemangku wilayah kota pudak, secara bergantian mereka menyampaikan keberhasilan dan hasil penelitiannya.
Ainurrahmah dan Anggita Putri Samara, misalnya. Dua ABG berkulit terang itu sukses menyabet medali emas di ajang Olimpiade Penelitian Siswa Nasional (OPSI) yang digelar Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di Unair 11-16 Oktober 2015 yang lalu. Mereka memaparkan karyanya berupa alat penyriram tanaman otomatis berbasis android.
Turut hadir dalam acara tersebut adalah Kepala Dinas Provinsi Jatim, Syaiful Rahman. Di hadapan sekitar 152 peserta seminar, dia tak mampu menyembunyikan rasa bangganya terhadap PGRI. “Kami menyampaikan rasa terima kasih kepada PGRI yang memiliki andil besar dalam menciptakan situasi pendidikan di Jatim kondusif,” katanya.
Terkait dengan Pasar bebas Asean (MEA) yang akan dimulai 15 Desember 2015, mantan kepala bandiklat Jatim berpesan kepada para guru. Kata dia, dalam waktu dekat, guru memiliki tugas yang berat terutama dalam menyiapkan Sumber Daya Manusia yang memiliki daya saing internasional. Oleh karena itu dia lebih berkonsentrasi menggarap SMK daripada SMA. Perbandingannya 70-30.
“Tahun ini anak-anak SMK yang sekarang duduk di kelas XII akan disertifikasi, sehingga nanti kalau lulus mereka akan mendapat sertifikat layak bekerja di mana saja. Kami telah menjalin kerja sama dengan Badan Standar Nasional untuk melakukan uji sertifikasi bagi siswa SMK,” paparnya
Di samping itu, pihaknya juga akan mendirikan SMK mini di wilayah yang menjadi basis UKM. SMK mini, kata Saiful Rahman adalah sejenis dengan Balai Latihan Kerja (BLK). Targetnya sekitar 100 SMK Mini dan setiap SMK mini akan digrojok dana sekitar Rp. 250 Juta.
Tidak hanya itu, kerjasa sama juga dilakukan dengan pihak luar negeri. “Kami telah menyepakati MoU dengan sallah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di daratan Cina yakni ZTE. Kali pertama, kita mendapat kuota 10.000 siswa yang akan disertifikasi,” sambungnya
Sementara terkait dengan Ujian Nasional Saiful Rahman mengatakan ada sekitar 1000 sekolah akan melaksanakan UN dengan CBT. “Boleh bawa computer jinjing pribadi. Namun syaratnya Laptop harus dikarantina terlebih dahulu di sekolah untuk dibersihkan semua,” tukasnya.
Dan untuk Uji Kompetensi Guru, pria tinggi besar ini berharap nilai UKG guru-guru di Jatim di atas nilai rata-rata siswa, yakni 5,5. “ Kalau UKG tahun 2012 lalu, nilai rata-ratanya 42,25, maka tahun ini targetnya 5,6,” terang Saiful.
Sebelum mengakhiri sambutannya, Saiful Rahman menyampaikan tentang UU No. 23/2014 tentang kewenangan pendidikan. Ada 3 kewenangan dalam UU tersebut, yakni Pendidikan Tinggi oleh Pemerintah Pusat, Pendidikan Menengah oleh Provinsi, dan Kab/Kota berwenang atas pendidikan dasar. UU ini akan dilakukan selambat-lambatnya 2 tahun setelah ditetapkan “Jadi nanti aka ada kantor cabang dinas pendidikan provinsi di kab/kota yang disesuaikan dengan beban kerja,” kata Syaiful mengakhiri sambutannya (ono)
Rafif Nova Riantama dan M. Wicaksono berhasil merebut Piala Gubernur Jawa Timur dalam Lomba Cipta Elektronika. Karyanya diberi label ASHEER (Automatic Fish Feedeer) yakni alat pemberi makan ikan otomatis. “Cukup SMS  kebutuhan pakan berapa dan jam berapa akan diberi makan, alat ini akan bekerja otomatis,” tutur M. Wicaksono di hadapan Pjs Bupati. Alat ini sudah berskala tambak, imbuhnya.
 Agnes Aurora Ngelo sukses menjadi Pelajar berprestasi tingkat Jawa Timur yang puncak finalnya digelar di Batu, Malang belum lama berselang. Sementara M. Hayyu Mahabbah selain sukses menjadi duta Lingkungan dan Cak Gresik, ABG yang mengaku masih jomblo ini akan menjadi salah satu wakil Indonesia dalam rangka menyambut delegasi pendidikan dan Singapura di Bandung.
Sementara Al Dinar, Arif, serta Rifki yang saat ini sedang dikarantina di Jakarta karena akan mengikuti International Robotic di Srilangka dipamitkan oleh kasek, Suswanto. “Mohon doa restunya bapak, agar anak-anak bisa berbuat yang terbaik untuk Indonesia. InsyaAllah dalam waktu dekat anak-anak kami akan berangkat ke Srilangka,” ucap Suswanto
Mendengar cerita anak-anak Smansa, Akmal Boedianto tak mampu menyembunyikan rasa bangganya. Dia pesan agar membagikan pengalaman dan ilmunya kepada kawan-kawanya. “ Kamu tidak boleh pintar sendiri. Bagikan pengalaman dan ilmu kalian agar di Gresik ini lahir kader-kader peneliti,” pesan Akmal
Pria berkaca mata itu juga berpesan agar tetap berpegang pada empat pilar kebangsaan, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), UUD 1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika. “ Kepintaran dan kepandaian kalian akan menjadi tidak berguna kalau kalian tidak memiliki nasionalisme atau rasa cinta tanah air. Ilmu Kalian harus kalian pergunakan untuk membangun bangsa, jangan engkau donasikan kepada negara lain,” sambungnya

Selasa, 17 November 2015

Bangau Pergantian Musim


Bangau Putih. Cuaca kala Kamis (5/11) cukup cerah. Ada pemandangan yang tidak seperti biasa di sekitar area tambak garam di kawasan Benowo, Surabaya. Ribuan bangau beterbangan di atas tambak. Sesekali mereka terdiam, sambil menyaksikan petani memindahkan garamnya dari tambak menuju ke Gudang. Kemudian terbang lagi. Begitu seterusnya. Fenomena alam yang konon kata pinisepuh sebagai pertanda akan datangnya musim hujan. Benarkah ? Semoga hujan segera turun.

Minggu, 15 November 2015

Bersaing dengan Guru Ekspatriat


Meskipun Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) baru akan diberlakukan 15 Desember 2015 mendatang, aroma liberlaisasi sudah tercium sejak dimulainya pasar bebas ASEAN (AFTA) pada 1 Januari 2003. Arus liberalisasi pendidikan semakin tak terbendung. UU No 20/2003 memberikan angin segar bagi lembaga pendidikan asing untuk membuka cabang di Indonesia. Pasal 65 ayat (1) menyatakan, ''Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.''
Implikasinya, lembaga pendidikan asing menjamur. Di Jakarta, misalnya, ada Singapore Primary School Kelapa Gading, Swiss German University di Serpong. Di Kota Pahlawan, ada Surabaya Japanese School. Sekolah-sekolah asing tersebut mengembangkan kurikulum berstandar internasional dan tergabung dalam International Baccalaureate Organization (IBO). Formulasinya, sekolah asing berdiri dengan peserta didik anak Indonesia, namun kurikulum dari negara asal.
Meski tergolong mahal, peminat sekolah asing cukup banyak. Terutama dari kalangan wali murid yang berpendidikan tinggi dan tentu juga dari kalangan the have. Mereka merasa lebih percaya menitipkan anaknya ngangsu kawruh ke sekolah asing daripada sekolah lokal. Karena itu, jamak dijumpai sekolah asing nolak-nolak siswa. Pagunya sudah terpenuhi jauh sebelum penerimaan siswa baru (PSB) dibuka.
Meski begitu, keberadaan sekolah asing tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, selain mampu menumbuhkan kompetisi pendidikan, kehadirannya merupakan sebuah jawaban atas keinginan masyarakat tentang perbandingan kualitas pendidikan. Semakin banyak lembaga pendidikan, tentu akan semakin banyak pilihan. Dengan begitu, masyarakat akan cepat dan tepat menentukan pilihan bagi pendidikan putra putrinya.
Bukan hanya itu, banyaknya sekolah asing yang beredar memberikan keuntungan secara ekonomi. Sebab, banyaknya siswa/mahasiswa yang sekolah di luar negeri hanya menguras devisa negara. Dengan adanya sekolah asing di Indonesia, tentu mampu mengurangi jumlah siswa/mahasiswa yang sekolah ke luar negeri. Bayangkan berapa besar devisa negara yang bisa diamankan.
Terkait liberalisasi pendidikan, pemerintah telah menyusun regulasi baru dan terobosan-terobosan yang sarat inovasi agar sekolah-sekolah domestik beserta para gurunya memiliki daya saing dan benar-benar siap memasuki era liberalisasi pendidikan yang sesungguhnya.

Daya Saing Global
Keunggulan negara sekarang tidak lagi diukur dari melimpahnya sumber daya alam, melainkan ditentukan dari kualitas sumber daya manusia (SDM). Upaya meningkatkan SDM, tak bisa dipisahkan dari kedudukan, peran, dan fungsi guru. Kita bisa membaca, menulis, dan berhitung karena diajari guru. Kita bisa mendapat pekerjaan layak, guru jualah yang mengantarkannya. Kita bisa berkreasi, berinovasi, dan berwirausaha, tetap guru yang memiliki andil besar. Tanpa guru, kita tak akan bisa seperti ini.
Guru bagaikan dian penerang dalam gulita. Mereka selalu mengasihi dan menyayangi siswa siswinya. Mereka tak kenal lelah membagi ilmu. Mereka juga tak putus asa membimbing anak didiknya agar menjadi anak yang berguna. Di era global ini sudah sepatutnya guru diberi ruang agar berkarya dan memberi yang terbaik bagi putra-putrinya. Mereka harus dimotivasi agar selalu kreatif dan inovatif mengemas isi pembelajaran. Selaras dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Pasal 40 Ayat (2) huruf a: pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.
Globalisasi meretas batas antarnegara. Lalu lintas tenaga kerja termasuk guru semakin ramai. Sekolah-sekolah asing tumbuh subur di Tanah Air. Akibatnya, liberalisasi pendidikan tak terhindarkan. Sekolah domestik mau tidak mau harus berjibaku menghadapi kepungan sekolah asing. Membangun pendidikan go international menjadi sebuah keniscayaan. Guru-guru pun harus bersaing dengan guru ekspatriat.
Agar mampu bersaing di era liberalisasi pendidikan, setidaknya ada empat hal yang patut diperhatikan. Pertama, merancang program sistem kredit semester (SKS). Program tersebut dirancang dengan prinsip keadilan. Artinya, siswa yang memiliki kecepatan belajar berhak menyelesaikan studinya lebih awal (acceleration). Di samping itu, proses pembelajarannya harus berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
Kedua, guru harus senantiasa mengasah kemampuannya dalam berbahasa asing. Ini tak bisa ditawar karena masyarakat lebih suka menyekolahkan anaknya ke sekolah yang menyelenggarakan bilingual programme. Yakni program sekolah yang mengarah pada pemakaian dua bahasa, bahasa Indonesia dan asing.
Ketiga, guru harus high-tech. Ini penting untuk menyukseskan e-learning program, yaitu program sekolah yang mengarah pada kegiatan pendidikan yang berbasis pada teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Produk-produk TIK akan menuntun guru lebih kreatif dan inovatif dalam mengemas kegiatan belajar mengajar. Sehingga kegiatan pembelajaran menjadi lebih dinamis, menarik, dan menyenangkan
Keempat, guru harus menulis. Guru harus menjadi pelopor dalam research and development programme. Program sekolah yang diarahkan pada penciptaan sekolah sebagai lembaga riset. Budaya menulis harus dijadikan tradisi keilmuan di sekolah. Guru yang terbiasa melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) dan hasilnya diformulasikan dalam bentuk karya tulis, ia akan mudah mendiagnosis siswanya yang kesulitan belajar. Sebaliknya, guru yang alergi terhadap kegiatan menulis dan ogah melakukan PTK, tanpa disadari sebenarnya telah membiarkan anak didiknya berada dalam situasi ketidaktahuan. Artinya, sama dengan melakukan pembodohan.
Bila guru terus menerus memerhatikan dan melakukan tiga hal di atas, berarti guru telah memiliki daya pembeda dengan yang lain. Artinya kekuatan untuk bersaing dengan sekolah asing maupun guru ekspatriat telah terkantongi. Dan upaya membangun sekolah unggul yang didambakan masyarakat bukan lagi sebuah utopia.

Uji Kompetensi Guru


            Guru yang sudah lulus sertifikasi maupun yang belum sertifikasi akan di-terra ulang kompetensinya. Mereka harus mempersiapkan diri kembali untuk mengikuti Uji Kompetensi Guru  (UKG). Ya, pemerintah tahun ini menggelar UKGB serentak di seluruh Indonesia secara online November mendatang. Ada sekitar 3 juta guru akan mengikuti kegiatan tersebut. UKG kali ini bukan yang pertama sebab hal yang sama sudah pernah dilakukan pemerintah tahun 2012.         
Kehadiran UKG menjadi rasan-rasan hampir semua guru. Ada yang mengatakan UKG tidak memiliki dasar hukum. Ada pula yang mengatakan kalau tidak lulus UKG TPP-nya dihapus. Akibatnya banyak guru-guru yang resah. Apalagi ujiannya dilakukan dengan peralatan Teknologi Informasi. Bagi guru-guru yang belum akrab dengan komputer, jelas ini problem besar. Jangankan mempelajari materi, memikirkan nyekel mouse aja bothak kepalanya.
Kehadiran UKG seyogianya disambut secara terbuka dan diapresiasi secara positif. UKG bukan resertifikasi sehingga tidak perlu ada yang dikhawatirkan. UKG bertujuan untuk memetakan mutu guru sebagai dasar pelaksanaan pengembangan keprofesionalan berkelanjutan. Hasil UKG nantinya dijadikan entry point penilaian kinerja guru. Sebagai tenaga yang profesional. Karena itu guru harus siap kapan saja di-terra kembali kompetensinya. Jangan hanya mau tunjangannya saja, giliran diuji teriak-teriak. Itu tidak fair.
Guru dituntut untuk selalu mengembangkan sikap profesionalismenya. Kualitas proses dan hasil pendidikan sangat tergantung pada kedudukan, peranan, dan fungsi guru. Oleh karena itu Pemerintah memandang perlu menggelar uji kompetensi guru. Melalui UKG  dapat diketahui apakah pascasertifikasi kompetensi guru itu berkembang atau jalan di tempat. Manakala dengan UKG kompetensi guru mengalami peningkatan, maka mekanisme ini patut dipertahankan. Akan tetapi jika UKG tidak mampu mengerek kompetensi guru, maka perlu dievaluasi untuk dicarikan formulasi yang lebih tepat.
Sebenarnya ini sudah dilakukan Pemerintah. Peserta sertifikasi 2006 hingga 2010 menggunakan jalur portopolio. Namun setelah dilakukan penelitian ternyata guru yang lulus melalui jalur portopolio kompetensinya tidak lebih baik dari peserta sertifikasi yang lulus melalui jalur Pendidikan dan Latihan Profesi Guru. Diduga, karena banyak peserta yang memalsukan dokumen portopolio. Semua dokumen portopolio diduga kuat karena membeli. Sehingga sertifikat pendidik yang dimiliki bukan merupakan bukti kompetensi yang sebenarnya. Oleh karena itu mulai 2011 jalur portopolio diganti dengan PLPG
Menurut pendapat saya, idealnya UKG dilaksanakan 5 tahun sekali sesuai dengan dengan tahun perolehan sertifikat pendidik. Misalnya, tahun ini (2015) UKG untuk guru sertifikasi kuota tahun 2006 dan 2010. Tahun 2016 untuk kuota tahun 2007 dan 2011 dan seterusnya. Sehingga pelaksanaannya bisa lebih tertib. Guru yang akan mengikuti bisa melakukan persiapan. Tidak hanya itu, proses belajar mengajar juga tidak terganggu karena tidak banyak guru yang meninggalkan jam pelajaran. Kalau serentak seperti ini bisa-bisa sekolah diliburkan karena semua gurunya mengikuti UKG.
Melalui UKG dapat diketahui kompetensi masing-masing guru. Dengan begitu pemerintah dengan mudah melakukan pemetaan. Bagi guru, sisi positifnya adalah guru akan selalu siap setiap saat meng-update kemampuannya. Dengan selalu mengembangkan wawasan berarti citranya akan terkerek sehingga gampang untuk melakukan aktualisasi diri di habitatnya. Tidak hanya itu,  ketika kompetensi guru mengalami tren naik, maka profesionalimenya pun tidak diragukan. Guru yang profesional setiap tingkah polahnya akan selalu mengedepankan kearifan.
Apabila hasil UKG jeblok, maka pemerintah harus memutar otak. Biaya besar diperlukan untuk memberikan pelatihan terstruktur bagi guru yang tidak lulus. Padahal dana TPP setiap tahun selalu mengalami kenaikan. Guru yang tercecer di UKG akan mengalami beban psikis dan sosial yang amat berat. Ini bisa membuat citranya hancur. Pada saat yang bersamaan ia akan sulit mengaktualisasikan diri. Kondisi ini akan mengaburkan jati dirinya.
Sosialisasi UKG tahun ini cukup bagus dan proporsional. Semua guru bisa mengakses. Bisa men-download kisi-kisi soal sesuai mata pelajaran yang diampu. Bisa melakukan simulasi. Ada kesempatan untuk mempersiapkan diri. Mekanisnya bagus juga. Semua berbasis hightech. Transparan, karena usai menjawab soal bisa langsung diketahui hasilnya. Tanpa ada rekayasa atau intervensi dari pihak-pihak tertentu. Persoalannya hanya terletak pada kompetensi yang diukur, yakni kompetensi paedagogik dan akademik. Sementara kompetensi sosial dan kepribadian tidak diukur.
Mampukan UKG meningkatkan kualitas pendidikan? Mudah-mudahan. Tidak ada yang dapat memberikan kepastian sebab kualitas pendidikan itu tidak hanya ditentukan oleh guru saja. Masih banyak faktor yang memengaruhi. Misalnya, sarana dan prasarana belajar yang memadai, kedisiplinan dalam PBM, serta sistem ujian. Padahal untuk meningkatkan mutu guru saja masih banyak kendala yang dihadapi.
Misalnya kapasitas intelektual guru yang terbatas karena faktor bawaan atau gawan bayi. Meski diuji berkali-kali kalau dari “sananya” seperti itu ya saya pikir susah di-update. Kecuali itu ada juga kendala mentalitas. Sebelum ada sertifikasi profesi guru adalah profesi pelarian. Seseorang menjadi guru bukan karena panggilan jiwa. Baru ada sertifikasi ini saja profesi guru menjadi primadona. Tidak ada ruginya mengikuti UKG. Setidaknya kita bisa mengukur kemampuan diri kita sendiri (self Assessment).