Kalau Anda diberi buku, kemudian Anda
bisa membacanya berarti Anda menguasai literasi. Kalau Anda sedang melakukan
sebuah perjalanan, kemudian Anda melihat rambu-rambu lalu lintas namun Anda
tidak bisa memahaminya sehingga tersesat di jalan, artinya Anda kurang
menguasai literasi.
Mereka
yang gemar membaca adalah mereka memiliki citra kemandirian. Citra kemandirian
menuntun seseorang untuk menemukan jatidirinya. Orang-orang yang sudah mengenal
jatidirinya akan cepat dan mudah mengaktualisaikan diriya dalam kehidupan nyata.
Sebaliknya, orang yang tidak gemar membaca akan sulit mengaktualisasikan diri.
Ini sungguh sangat berbahaya karena akan mengaburkan jatidirinya.
Tidak
hanya itu, orang-orang yang gemar membaca adalah orang-orang yang memiliki
wawasan luas. Salah satu cirinya, pikiran dan tindakannya selalu mengarah ke
hal-hal yang sifatnya positif. Sebaliknya, orang yang sempit wawasannya karena
kurang membaca, mereka picik terhadap kenyataan. Pikiran dan tindakannya
tenggelam ke dalam hal-hal yang jauh dari kearifan.
Namun
realitas obyektif menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat, termasuk siswa,
membaca belum menjadi sebuah tradisi. Budaya oral lebih menonjol daripada
budaya baca, Kalau bicara satu hari pun kuat. Demikian juga nonton. Doyan banget. Berjam-jam di depan pesawat
televise juga betah., Namun, kalau membaca, nanti dulu. Jangankan membaca,
pegang buku saja enggan.
Para
guru dan orang tua jangan pernah bosan mengingatkan putra-putrinya untuk selalu
membaca meskipun hanya satu lembar sehari. Waktunya bisa kapan saja, termasuk
menjelang tidur. Sebab, setelah membaca, mata akan lelah dan mereka akan tidur
dengan sendirinya, Biarkan anak-anak tidur didampingi buku.
Apabila
satu hari membaca satu lembar, tanpa terasa sebulan sudah 30 lembar (sama
dengan 60 halaman). Kalau sudah jadi kebiasaan, ini bisa mengalami peningkatan,
sebab kelanjutan bacaan bisa membuat pembacanya penasaran.
Budaya
literasi (keberaksaraan) pun mengalami perkembangan. Tidak cukup hanya membaca,
tapi juga menulis. Artinya, kalau Anda
melakukan sesuatu, kemudian Anda membiarkan waktu berlalu begitu saja dan tidak
melakukan apa-apa sama sekali (doing
nothing), tidak bisa menuliskan apa yang telah tertangkap oleh indera,
berarti Anda kurang menguasai literasi. Sebaliknya, kalau Anda melakukan
sesuatu (doing something) menuliskan
apa yang telah tertangkap oleh panca indera, berarti Anda menguasai literasi.
Pramudya Ananta Toer
mengatakan, orang boleh pandai setinggi
langit. Namun selama ia tidak menulis ia akan hilang dalam masyarakat dan dari
sejarah. Menulis
merupakan salah satu aktivitas yang sangat sulit. Banyak yang mengaku kesulitan
menulis. Baru satu dua kalimat dihapus. Sudah buntu, katanya. Ada yang sudah
menulis satu paragraph, berhenti. Idenya kabur, akunya.
Orang-orang yang piawai
menulis jelas memiliki kualitas daya pembeda. Artinya, kemampuan untuk “menyisihkan lawan” sudah
terkantongi. Mereka memiliki intuisi yang sangat kuat saat mengolah kata.
Selain itu seorang penulis mampu membayangkan apa yang sebenarnya terjadi, apa
yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Analisisnya kuat dan tajam.
Analisis terhadap fenomena yang melibatkan imajinasinya mampu menjadikan
gejala-gejala dalam kontek sosiologis itu menjadi lebih hidup, menarik, dan
bermakna. Tidak hanya itu, penulis selalu melibatkan emosinya agar mampu memahami
perasaan orang yang akan membaca karyanya.
Di negeri kita sendiri misalnya, kita mengenal Kartini. Tanpa bermaksud mengecilkan perjuangan Kartini, sebenarnya banyak tokoh wanita yang sepak terjangnya tidak kalah heroiknya dengan Kartini. Ada Dewi Sartika, Cut Nya’ Dien, SK Trimurti, Fatmawati. Namun kenapa kok Kartini yang paling dikenal publik. Setiap hari kelahirannya diperingati sebagai hari Kartini. Salah satu alasannya, Kartini memiliki kelebihan serta kualitas daya pembeda. Dia mau menulis mengungkapkan pikiran-pikiran, serta harapan-harapannya.
Di negeri kita sendiri misalnya, kita mengenal Kartini. Tanpa bermaksud mengecilkan perjuangan Kartini, sebenarnya banyak tokoh wanita yang sepak terjangnya tidak kalah heroiknya dengan Kartini. Ada Dewi Sartika, Cut Nya’ Dien, SK Trimurti, Fatmawati. Namun kenapa kok Kartini yang paling dikenal publik. Setiap hari kelahirannya diperingati sebagai hari Kartini. Salah satu alasannya, Kartini memiliki kelebihan serta kualitas daya pembeda. Dia mau menulis mengungkapkan pikiran-pikiran, serta harapan-harapannya.
Keberaksaraan, membaca
dan menulis ibarat sekeping mata uang logam. Kedua sisinya sama pentingnya.
Literasi yang di dalamnya terkandung aktivitas membaca dan menulis menjadi
salah satu katalisator dalam membangun sebuah peradaban suatu bangsa. Begitu
pentingnya literasi Napoleon Bonaparte mengurungkan niatnya berperang melawan
Mesir. Dia lebih memilih memboyong literasi Mesir kuno ke Perancis. Hal yang
sama dilakukan Belanda ketika menduduki Indonesia. Sejumlah naskah kuno diterbangkan ke Netherland. Sehingga
kita harus bersusah payah belajar ke Leiden.
Menulis harus dijadikan
budaya keilmuan. Setiap kita harus membiasakan menulis. Menulis saja, tidak
usah berfikir apakah tulisan Anda nanti dicacimaki orang atau bahkan dipuji
orang. Kalau Anda berfikir kalau tulisan Anda nanti bakal dicaci orang, saya
yakin Anda tidak akan nulis-nulis. Karena dibayangi oleh perasaan takut
diolok-olok. Sebaliknya, Anda juga tidak usah berfikir tulisan Anda bakal
dipuji orang. Menjadi trending topik. Sebab kalau kenyataannya tidak demikian
adanya, maka hal itu akan menjadi sesuatu yang menyesakkan dada.(Duta Masyarakat, 20/11/2015)