Siapa yang tak kenal Drona. Ia adalah guru Pandawa dan Kurawa. Saat perang Mahabharata meletus Drona memimpin pasukan Kurawa setelah Bhisma tak mampu lagi dan akhirnya tewas. Drona mendapaykan ilmu peperangan dari huru Parasurama.
Siapakah Drona itu? Ia anak pendeta Bharadwaja dari hasil.perselingkuhannya dengan bidadari. Namun ia tidak pernah sedetik pun berada dalam rahim bidadari itu. Dikisahkan, saat hendak menyucikan diri ke sungai Gangga, Ia melihat bidadari yang sangat cantik. Seketika itu ia merangsang. Syahwatnya tak mampu dikendalikan. Lalu mengeluarkan air mani yang banyak sekali. Agar tidak berceceran, sang pendeta itu mengatur air maninya dan menampungnya di dalam tong (droon). Dari droon itulah Drona lahir.
Ia tumbuh di tengah kemiskinan. Namun, keadaan yang sulit itu tidak menghalanginya untuk belajar. Masa mudanya dihabiskan bersama sahabat karibnya Drupada. Makan sepiring berdua. Tidur sebantal. Rokok sebatang diisap berdua. Yang jelas susah senang dinikmati berdua.
Suatu ketika, saat keduanya bersama sama berteduh di bawah pohon di tepi bengawan, Drupada berjanji, "nanti kalau saya menjadi raja Panchala, separo kerajaan akan aku berikan kepadamu, wahai sahabatku" janjinya sambil menggandeng tangan Drona. Lalu pulang.
KEMEWAHAN YANG MEMBUTAKAN
Malam pergi begitu cepat. Fajar datang dengan muka tak bersahabat. Lengkung cakrawala di ufuk timur tak menyisakan rona merah. Pagi takut, lalu melesat pergi bersama halimun menuju kaki bukit.
Drona belum beranjak dari rumah. Kakinya seperti tidak bisa digerakkan melihat anak satu satunya Aswatama menagis dalam gendongan Mamanya, Krepi. Tangis Aswatama semakin menjadi-jadi. Sepertinya ia merindukan air susu. Kemiskinan yang melilit keluarga Drona membuat Krepi hanya bisa memberikan air yang dicampur tepung sebagai penggganti susu formula.
Drona bertekad mengakhiri kemiskinan ini. Pundaknya sudah tidak mampu lagi menyangga air mata Krepi dan Aswatama. Di tengah kekalutan, Drona ingat sahabat sepermainannya, Drupada yang sukses menjadi raja di Panchala. Dulu, Drupada pernah berjanji akan memberikan separo kerajaannya kepada Drona.
Drona pamit pada Krepi akan menemui Drupada. "Kau yang sabar ya Krep. Saya akan menagih janji Drupada. Jaga baik baik anak kita, Aswatama," pesannya sambil mengelus rambut Krepi.
Drona memesan ojek online. Namun sayang sekali saat membuka aplikasi, tidak bisa. Karena data internetnya habis. Dimasukkan kembali HP-nya di saku celana. Dia memutuskan naik sepeda pancal. Baru beranjak dari pintu rumah, token listrik berbunyi. Drona lalu menatap Krepi yang tengah menggendong Aswatama. "Sudahlah....berangkat saja. Biar nanti saya beli token pakai OVO," kata Krepi.
Druno berangkat naik sepeda pancal. Ia mengayuh menyusuri pekat dengan sepeda pemberian kakak iparnya Krepa -guru di Hastinapura. Setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam, Drona sampai di Panchala. Dengan keringat yang membentuk seperti kanal di tubuhnya, ia menghadap Drupada.
Drona inginnya reuni tipis topis setelah beberapa tahun bertemu. Namun apa yang terjadi. Drupada berubah 360 derajat. Tidak humble lagi. Raja Panchala itu dibutakan oleh kemewahan dan kekuasaan yang melingkupinya. Nilai nilai luhur persabatan terkubur oleh kesombongan dan keangkuhan. Drupada menghina dan merendahkan Drona. Ia mengaku malu mempunyai kawan seperti Drona yang compang camping itu. "Persahabatan hanya terjadi antara dua orang yang mmemiliki taraf hidup yang sama,"ejeknya.
Dengan kalimat yang menohok Drupada mengingatkan Drona agar tidak mengaku sebagai sahabatnya. "Kalau minta, minta sajalah. Tidak usah mengaku-aku sebagai.sahabat," ujarnya dengan muka sinis.
Melihat kenyataan yang tidak pernah terpikirkan itu, Drona tidak bisa berkata apa apa. Dalam hatinya berbisik akan melakukan revance. Ia membisu meninggalkan Drupada.
TEWAS KARENA HOAKS
Perang dahsyat di medan Khurusetra memasuki hari ke-13, Kresna menyusun strategi melumpuhkan pasukan sata Kurawa yang dipimpin Drona. Kresna memberi isyarat pada Yudistira bahwa Drona akan luimpuh, taK berdaya lalu menyerah apabila Aswatama - putra kesayangannya gugur di medan Kuru.
Di tengah keramaian, Bima berteriak Aswatama gugur setelah ia membunuh seekor gajah bernama Aswatama Hatha Kunjara. Frase "Hatha Kunjara" yang menerangkan bahwa seekor gajah telah mati, tidak terdengar karena kegaduhan bunyi genderang dan terompet atas perintah Kresna. Sehingga yang terdengar hanya Aswatama gugur.
Drona kemudian mendekat pada Yudhistira untuk memastikan kabar dari Werkudara. "Ya Aswatama gugur," jawab putra pertama Pandawa
Episode Mahabharata di atas seolah menjadi pembenar bahwa hoaks (berita bohong) itu sangat mematikan. Ia laksana racun ular kobra. Setiap kemenangan selalu dibangun dengan cara-cara yang culas, Tanpa berfikir panjang fitnah (hoax) ditebarkan sehingga membuat lawan-lawannya tewas secara perlahan-lahan.
Di era revolusi 4.0 hoaks laksana senjata biologis. Saat virus hoax ditiupkan lawan-lawanya dipastikan klepek-klepek seperti ikan mujaer kehabisan air. Setiap pertarungan, kompetisi, kontestasi, bondan,sampai persaingan bisnis, tidak bisa lepas dari hoaks.
Perang melawan hoaks adalah niscaya agar kemenangan yang diraih tanpa harus merendah pihak lain. Digdaya tanpa aji,sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Hoaks no, integritas yes, guyub rukun koncoan selawase oke.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar