Senin, 04 Mei 2020

KEMATIAN ADALAH KAWAN SEJATI

"Kematian adalah kawan sejati. Di saat semua menjauh, dia justru semakin mendekat dan pasti," kata Candra Malik

Setiap mendengar kata pulang siapapun pasti senang. Anak anak sekolah ketika lonceng berbunyi tanda pelajaran berakhir pasti senang. Karena sebentar lagi pulang ke rumahnya masing masing. Berbagai alasan dikemukan. Ada yang beralasan karena kangen ingin segera pingin ketemu ayahnya karena sudah seminggu ditinggal dinas ke luar kota. Ada juga yang berdalih karena lapar karena berangkat sekolah tadi tergesa-gesa sehingga tidak sempat sarapan.

Akhir pekan adalah waktu yang paling disukai oleh pegawai yang sedang dinas ke luar kota. Karena mereka akan segera pulang setelah seminggu meninggalkan keluarganya. Bermacam macam alasan disampaikan. Ada yang rindu ingin segera bertemu istrinya. Maklum karena pengantin baru. Ada juga yang pingin segera ketemu anaknya yang masih semata wayang.

Jika anak anak sekolah pulang ke rumahnya masing masing senang. Pegawai yang dinas ke luar kota, pulang bertemu keluarga di rumah juga senang. Orang-orang yang ada di perantauan pulang ke kampung halamannya senang.   Lantas mengapa saat ditanya kapan pulang kepada Allah  semua pada takut. 
Jujur, semua pasti takut.  Padahal, di dunia ini tidak ada yang semakin dekat dan pasti, kecuali pulang ke Rahmatullah atau kematian. 

Mati itu pantas. Anak anak mati, pantas. Pemuda mati pun, pantas. Orang tua mati, juga pantas. Dan syarat-syarat mati tidak harus sakit. Pagi tampak kelihatan sehat. Sore dikabarkan meninggal juga ada. Sore mengeluh kepalanya sakit, malam diumumkan di masjid meninggal juga ada.

Kematian tidak bisa ditakuti juga tidak bisa minta. Takut seperti apapun kalau Allah emngutus malaikat Izroil menyabut nyawanya ya tetap meninggal. Pemberani seperti apapun, kemudian minta supaya mati kalau Allah belum mengutus malaikat pencabut nyawa melaksanakan tugas ya tidak bisa mati.
Kalau dikaji lebih mendalam, Penyebab utama manusia takut kematian adalah sikap hubuddunia. Sikap cinta kepada dunia yang berlebihan telah mengakibatkan erosi keimananan. Keindahan dunia telah membuat manusia silau dan menjauh dari Allah SWT. Kecintaan terhadap hal-hal yang bersifat duniawi menggeser pola pikir manusia ke arah sekuler. Semua yang ada di dunia ingin dikuasai. Dengan cara apapun. Yang kuat tanpa rasa iba sedikit pun menginjak-injak hak mereka yang lemah. Tidak hanya itu, amanah yang dititipkan, menjaga alam beserta seluruh isinya juga digagahi. Padahal semua itu adalah tipu daya dunia. Mereka lupa bahwa kehidupan dunia adalah kesenangan yang memperdayakan. Illa mata’ul ghuruuri

Sikap Hubuddunia mengakibatkan manusia menjadi budak dunia. Orang yang cinta terhadap harta bendanya pasti takut kekayaannya berkurang atau hilang. Karena itu mereka melakukan proteksi serta penjagaan yang ketat. Orang yang cinta pada jabatannya juga pasti takut kehilangan jabatannya. Karena itu mereka melakukan pendekatan-pendekatan terhadap pimpinan untuk melanggengkan jabatannya. Pemuda yang cinta terhadap kekasihnya, so pasti takut diputus pacarnya. Karena itu mereka akan melakukan apa saja yang agar kekasihnya tidak marah.
Kalau manusia mengaku cinta kepada Tuhan, seharusnya mereka melakukan sesuatu yang disukai Tuhan dan meninggalkan hal-hal yang dilarang Tuhan. Hubuddunia merupakan perwujudan sikap manusia yang sombong kepada Tuhan. Jika tidak ingin dijadikan budak dunia serta terhindar dari hubuddunia manusia harus sombong pada dunia.

Emha Ainun Nadjib dalam Agus Nur Cahyo (2016:205) mengatakan,”Saya memang sombong. Harus itu ! Sombong kepada dunia itu wajib hukumnya. Yang tidak boleh sombong itu sombong kepada Tuhan. Tetapi kepada dunia, popularitas, semua yang ada di dunia, harus sombong. Kepada uang, harta benda, harus sombong. Kalau tidak, Anda hanya jadi budak dunia”.

Hari ini, besok, lusa atau kapan pun manusia pasti pulang (baca:mati). Kapan saja manusia pasti pulang. Karena itu sikap hubuddunia harus dikubur dalam dalam. Kita manfaatkan setiap hembusan nafas ini untuk melakukan perbuatan yang dikehendaki Tuhan. Detik detik umur kita gunakan untuk mengais amal perbuatan yang baik. Dan sisa umur ini kita manfaatkan untuk berburu bekal agar perjalanan pulang menuju rumah yang abadi selamat. Keluarga kita di surga sedang menunggu, kapan kita pulang. Semoga Tuhan senantiasa menuntun kita dalam perjalanan pulang. (*/)

SEORANG GURU TEWAS SETELAH MENDENGAR HOAKS

Siapa yang tak kenal Drona. Ia adalah guru Pandawa dan Kurawa. Saat perang Mahabharata meletus Drona memimpin pasukan Kurawa setelah Bhisma tak mampu lagi dan akhirnya tewas. Drona mendapaykan ilmu peperangan dari huru Parasurama.

Siapakah Drona itu? Ia anak pendeta Bharadwaja dari hasil.perselingkuhannya dengan bidadari. Namun ia tidak pernah sedetik pun berada dalam rahim bidadari itu. Dikisahkan, saat hendak menyucikan diri ke  sungai Gangga, Ia melihat bidadari yang sangat cantik. Seketika itu ia merangsang. Syahwatnya tak mampu dikendalikan. Lalu mengeluarkan air mani yang banyak sekali. Agar tidak berceceran, sang pendeta itu mengatur air maninya dan menampungnya di dalam tong (droon). Dari droon itulah Drona lahir.

Ia tumbuh di tengah kemiskinan. Namun, keadaan yang sulit itu tidak menghalanginya untuk belajar. Masa mudanya dihabiskan bersama sahabat karibnya Drupada. Makan sepiring berdua. Tidur sebantal. Rokok sebatang diisap berdua. Yang jelas susah senang dinikmati berdua.

Suatu ketika, saat keduanya bersama sama berteduh di bawah pohon di tepi bengawan, Drupada berjanji, "nanti kalau saya menjadi raja Panchala, separo kerajaan akan aku berikan kepadamu, wahai sahabatku" janjinya sambil menggandeng tangan Drona. Lalu pulang.

KEMEWAHAN YANG MEMBUTAKAN
Malam pergi begitu cepat. Fajar datang dengan muka tak bersahabat. Lengkung cakrawala di ufuk timur tak menyisakan rona merah. Pagi takut, lalu melesat pergi bersama halimun menuju kaki bukit.

Drona belum beranjak dari rumah. Kakinya seperti tidak bisa digerakkan melihat anak satu satunya Aswatama menagis dalam gendongan Mamanya, Krepi. Tangis Aswatama semakin menjadi-jadi. Sepertinya ia merindukan air susu. Kemiskinan yang melilit keluarga Drona membuat Krepi hanya bisa memberikan air yang dicampur tepung sebagai penggganti susu formula.

Drona bertekad mengakhiri kemiskinan ini. Pundaknya sudah tidak mampu lagi menyangga air mata Krepi dan Aswatama. Di tengah kekalutan, Drona ingat sahabat sepermainannya, Drupada yang sukses menjadi raja di Panchala. Dulu, Drupada pernah berjanji akan memberikan separo kerajaannya kepada Drona.

Drona pamit pada Krepi akan menemui Drupada. "Kau yang sabar ya Krep. Saya akan menagih janji Drupada. Jaga baik baik anak kita, Aswatama," pesannya sambil mengelus rambut Krepi.

Drona memesan ojek online. Namun sayang sekali saat membuka aplikasi, tidak bisa. Karena data internetnya habis. Dimasukkan kembali HP-nya di saku celana. Dia memutuskan naik sepeda pancal. Baru beranjak dari pintu rumah, token listrik berbunyi. Drona lalu menatap Krepi yang tengah menggendong Aswatama. "Sudahlah....berangkat saja. Biar nanti saya beli token pakai OVO," kata Krepi.

Druno berangkat naik sepeda pancal. Ia mengayuh menyusuri pekat dengan sepeda pemberian kakak iparnya Krepa -guru di Hastinapura. Setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam, Drona sampai di Panchala. Dengan keringat yang membentuk seperti kanal di tubuhnya, ia menghadap Drupada.

Drona inginnya reuni tipis topis setelah beberapa tahun bertemu. Namun apa yang terjadi. Drupada berubah 360 derajat. Tidak humble lagi. Raja Panchala itu dibutakan oleh kemewahan dan kekuasaan yang melingkupinya. Nilai nilai luhur persabatan terkubur oleh kesombongan dan keangkuhan. Drupada menghina dan merendahkan Drona. Ia mengaku malu mempunyai kawan seperti Drona yang compang camping itu. "Persahabatan hanya terjadi antara dua orang yang mmemiliki taraf hidup yang sama,"ejeknya.

Dengan kalimat yang menohok Drupada mengingatkan Drona agar tidak mengaku sebagai sahabatnya. "Kalau minta, minta sajalah. Tidak usah mengaku-aku sebagai.sahabat," ujarnya dengan muka sinis.

Melihat kenyataan yang tidak pernah terpikirkan itu, Drona tidak bisa berkata apa apa. Dalam hatinya berbisik akan melakukan revance. Ia membisu meninggalkan Drupada.

TEWAS KARENA HOAKS
Perang dahsyat di medan Khurusetra memasuki hari ke-13, Kresna menyusun strategi melumpuhkan pasukan sata Kurawa yang dipimpin Drona. Kresna memberi isyarat pada Yudistira bahwa Drona akan luimpuh, taK berdaya lalu menyerah apabila Aswatama - putra kesayangannya gugur di medan Kuru.

Di tengah keramaian, Bima berteriak Aswatama gugur setelah ia membunuh seekor gajah bernama Aswatama Hatha Kunjara. Frase "Hatha Kunjara" yang menerangkan bahwa seekor gajah telah mati, tidak terdengar karena kegaduhan bunyi genderang dan terompet atas perintah Kresna. Sehingga yang terdengar hanya Aswatama gugur.

Drona kemudian mendekat pada Yudhistira untuk memastikan kabar dari Werkudara. "Ya Aswatama gugur," jawab putra pertama Pandawa

Episode Mahabharata di atas seolah menjadi pembenar bahwa hoaks (berita bohong) itu sangat mematikan. Ia laksana racun ular kobra. Setiap kemenangan selalu dibangun dengan cara-cara yang culas, Tanpa berfikir panjang fitnah (hoax) ditebarkan sehingga membuat lawan-lawannya tewas secara perlahan-lahan.

Di era revolusi 4.0 hoaks laksana senjata biologis. Saat virus hoax ditiupkan lawan-lawanya dipastikan klepek-klepek seperti ikan mujaer kehabisan air. Setiap pertarungan, kompetisi, kontestasi, bondan,sampai persaingan bisnis, tidak bisa lepas dari hoaks.

Perang melawan hoaks adalah niscaya agar kemenangan yang diraih tanpa harus merendah pihak lain. Digdaya tanpa aji,sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Hoaks no, integritas yes, guyub rukun koncoan selawase oke.

Sabtu, 02 Mei 2020

Dialog Imajiner dengan Kihajar Dewantara

Ki, saat saya berada di tempat peristirahatanmu. Di tempat yang suatu saat orang- orang juga akan menjadi bagian dari batu nisan - batu nisan itu, aku semakin jelas melihat baktimu. Kau tak kenal lelah. Setiap tetes keringatmu demi  mencerdaskan anak- anak bangsa.

Ki, di tempat tidur panjangmu bersama dengan bunga bangsa yang lain, aku tertunduk haru lalu mengheningkan cipta.  Mengingat jasa - jasamu mengangkat derajat negeri ini.

Aku merindukan sosok sepertimu Ki. Sosok yang ing ngarsa sing tuladha, ingat madya mangun karsa, Tutwuri Handayani. 

Saat ini mencari sosok seperti itu sangat susah Ki. Seperti mencari jarum yang jatuh di tengah hijau rerumputan. Yang banyak justru malah ing ngarsa ngumbar angkara. Ing madya  numpuk harta (mengumpulkan harta). Tutwuri melu ngadhahi.

Yang berada di depan tidak memberikan teladan yang baik. Sewenang-wenang. Adigang adigung adiguna. Kasih sayang yang diberikan Tuhan dibiarkan begitu saja. Yang kuat tanpa belas kasihan mengangkangi hak hak wong cilik.

Yang di tengah tidak memberikan dorongan positif. Bekerja dan berkarya lebih baik. Tapi diam diam malah mengumpulkan pundi pundi kekayaan. Amanah yang diberikan Tuhan dikhianati, apapun uang ada di sekitanya dilahap. Persis seperti api yang berkobar.

Sementara yang di belangkang tidak mau tutwuri handayani. Justru malah nyrimpeti. Diam-diam malah melu ngadahi. Ikut menerima dum duman. Kalau tidak dapat bagian atau bagiannya kurang, berteriak seperti harimau kelaparan. Nanti kalau sudah bagiannya cukup, diam. Anteng. Seperti harimau yang sedang tidur. Bahkan suatu saat harimau itu tidak hanya makan daging tapi juga doyan tahu.

Mereka pada bertengkar dengan kawannya sendiri Ki. Saling asih asah asuh yang dulu kau ajarkan semakin terpinggirkan. Yang dilakukan masih sebatas artifisial. Seolah-olah memperjuangkan ternyata memanfaatkan. Seolah-olah mengajak ternyata mendepak. Seolah-olah merangkul ternyata memukul. Seolah-olah berbagi ternyata korupsi.

Untukmu Suwardi Suryaningrat segala hormat kupersembahkan. Segenap  cinta kuhaturkan. Sejumlah doa doa  terbaik kupanjatkan. Maafkan karena telah mengganggu tidur panjangmu.

Selamat hari pendidikan nasional 2020. Semoga lewat pendidikan lahir pribadi pribadi yang deawasa dan berkarakter. Pribadi pribadi yang paham benar perjalanan sejarah bangsanya. Bukan penjahat penjahat yang cerdas.

Tetap semangat di tengah pandemi covid-19. Berkarya meraih berkah di tengah wabah. (**/)