Selasa, 02 Juni 2020

Apa Kata Mereka tentang Buku Berbisnis dengan Tuhan

Saya tersenyum ketika membaca buku ini. Bukan menertawakan isi buku, tapi dari judulnya, telah memenuhi salah satu ‘rukun iman’ jurnalistik. Saya meyakini, penulis buku ini bukan orang biasa-biasa saja. Penulisnya tentu gemar membaca, membaca, dan membaca. Bisnis dengan Tuhan, mungkinkah? Kalau memaknai dengan kaca mata syariat, jawabnya tidak mungkin. Namun, penulis memilih judul demikian tentu berupaya mengajak kita untuk keluar dari bingkai syariat. Lalu kalau mungkin, bagaimana caranya? Sulit atau mudah? Bergantung. Relatif. Dari logika positivistik, ujung dari bisnis adalah ingin menjadi ‘kaya’. Bisnis dengan Tuhan, jawabnya sudah pasti konvergen. Dijamin bakal kaya. Hanya, arti ‘kaya’ bagi setiap orang tentu berbeda-beda. Sama dengan cara orang memandang ‘sukses’. Kita percaya, hampir tidak ada manusia yang ingin hidup miskin dan sengsara. Semua tentu ingin kaya, bahagia, dan sejahtera. Toh, pada kenyataannya, jumlah orang miskin tetap jauh lebih banyak. Apakah sulit menjadi orang kaya? Apa butuh gelar doktor atau profesor untuk bisa kaya? Apakah kita tidak bisa menjadi kaya dengan cara halal, sehingga tidak harus menjadi koruptor dulu seperti banyak di berita itu? Kaya bukanlah akhir sebuah pencapaian. Sebab, seperti sedang bermain bola bekel, pemaknaan kaya terus bergerak. Karena itu, sebelum melangkah, cari arti kaya bagi diri kita sendiri. Nah, resep untuk bisa menjadi ‘kaya’ telah ditulis dengan cukup benderang dalam buku ini. Semoga membawa kemanfaatan untuk kita semua. Amin." - M. SHOLAHUDDIN, Jawa Pos
-------------------------------------------------;

BEBERAPA dasa warsa lalu, masyarakat sangat mengagungkan kecerdasan akademik atau lebih akrab dengan IQ (intelligence quotient) sebagai penentu kesuksesan. Barangsiapa memiliki IQ tinggi, dialah yang dipercaya meraih sukses di masa depan. Ternyata, sejalan pergeseran waktu dan konsep kesuksesan, bergeserlah keyakinan masyarakat tentang apa yang berpengaruh besar pada kesuksesan: ada keserdasan emosional (emotional quotient, EQ), kecerdasan spiritual (spiritual quotient, SQ), kecerdasan emosional-spritual (emotional and spiritual quotient, ESQ) dan sebagainya.

Penulis buku ini, Sdr. Priyandono, menegaskan pentingnya “karakter relijius.” Meski tidak secara eksplisit mengatakannya, dia sangat yakin bahwa karakter relijius bisa menjadi “kata kuncinya”. Dengan menempatkan karakter sebagai kata kunci, kita bisa mengukur seberapa penting hal ini bagi kerangka pikir dalam penyusunan buku ini.

Karakter relijius sendiri merupakan salah satu karakter utama yang digarap pemerintah kita dalam Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), yang didukung dengan pembudayaan literasi. Empat karakter utama lain adalah nasionalisme, gotong royong, mandiri, dan integritas. Dalam pandangan penulis buku, karakter relijius merupakan karakter mendasar yang bersumber pada keyakinan pada Tuhan yang sangat penting untuk ditumbuhkembangkan bagi siapa saja—yang dengan sendirinya memperkuat empat karakter lain.

Tatkala orang memiliki karakter relijius kuat, amat boleh jadi dia memiliki jiwa nasionalisme kuat pula; sebab, berbagai Agama juga mewajibkan umatnya untuk membela negara. Orang berkarakter relijius kuat juga suka bergotong-royong; selain karena harus saling-mengenal, dia hakikatnya makhluk sosial yang wajib membantu orang lain. Orang berkarakter relijius juga harus mandiri—malu untuk bergantung pada orang lain; karena itu, dia akan bekerja keras, cerdas, dan ikhlas. Selain itu, orang berkarakter relijius membentuk diri sebagai manusia berintegritas. Dia memiliki konsep diri dan keyakinan diri yang kokoh berkat pengenalan diri yang paripurna.

Bagi penulis buku ini, karakter relijius sangat penting agar setiap gerak dan langkah seseorang selalu menghadirkan Tuhan. Menurutnya, tidak ada satu pun yang diraih seseorang tanpa intervensi Tuhan. Bagi orang berkarakter relijius, Tuhan senantiasa hadir di dalam dirinya: pikiran, perasaan, ucapan, sikap dan perilakunya. Inilah, menurut penulis buku, yang harus ditebarkan dan disuburkan hidupnya di ruang persemaian yang lebih luas.

Menebar virus karakter relijius, tentu, bisa beragam caranya. Dalam buku ini, penulis buku berbagi tulisannya—dengan keyakinan bahwa artikel-artikel yang ada berpotensi memiliki andil besar membentuk karakter relijius. Bahkan, dia menegaskan, buku ini dapat menuntun seseorang menjadi semakin dekat dengan Tuhan. Tentu saja, semua itu terjadi tatkala artikel ini dibaca, dipahami, dan diamalkan dengan segenap hati. Jangan percaya sekarang; bacalah dulu isinya, barulah Anda boleh bersikap.

Setidaknya terdapat 30 lebih artikel yang menarik untuk dituntaskan satu per satu—yang kebanyakan merupakan artikel reflektif dan evaluatif atas fenomena atau pengalaman hidup yang beragam. Artikel pertama, yang menjadi judul buku ini, adalah “Bisnis dengan Tuhan” yang mengisyaratkan kepada pembaca untuk hanya berbisnis atau bertransaksi dengan Tuhan. Jika kita beribadah, lakukan yang terbaik dan ikhlas, dan biarlah Tuhan “membayar” nilai pengabdian yang kita tunaikan. Demikian pun ketika kita bersedekah, beramal shalih, dan sebagainya. Artikel ini mengandung bias-bias makna yang luas, sehingga tepat rasanya jika ia jadikan judul buku ini.

Artikel-artikel lain seperti “Mencari Berkahnya, Bukan Jumlahnya”, “Rezeki Terbaik adalah Sabar”, “Padukan Kesalehan Ritual dengan Kesalehan Natural”, “Menghadirkan Tuhan di Sekolah”, dan sebagainya menawarkan pencerahan-pencerahan  yang patut dipetik hikmah dan inspirasinya. Akan lebih indah maknanya tatkala kita sebagai pembaca melakukan refleksi kritis dan evaluatif setelah membaca setiap satu artikel. Rasakan ada dialog kecil internal yang mengayakan.

Saya berharap, seluruh artikel dalam buku ini menyapa pembaca dengan telaten hingga titik terakhir. Setidaknya seperti yang saya alami, buku ini membuat saya betah membacanya—karena buku disajikan dengan bahasa egaliter, sederhana, dan mengalir. Bagi siapapun yang memburu karakter relijius—baik siswa, guru, praktisi pendidikan, maupun masyarakat umum—buku ini pantas dijadikan dalah satu koleksi bacaan yang mencerahkan.

Tentu saja, dalam kesempatan ini, saya sampaikan apresiasi kepada penulis buku ini, seseorang guru yang memang suka menulis di berbagai media massa dan jurnal ilmiah. Diterbitkannya buku ini membuktikan bahwa penulis buku ini termasuk dalam jajaran “guru penulis”, yakni guru yang profesional dan sekaligus menekuni avokasi (profesi tambahan) sebagai penulis. Mudah-mudahan Pak Pri—begitu saya sering menyapanya—istiqamah dalam berkarya dan menyandang status guru penulis.

Dengan memohon ridha Tuhan yang Maha Pemurah, saya panjatkan doa dari lubuk hati paling dalam agar virus relijius menebar luas ke segala penjuru negeri tercinta ini. Insyaallah kelak kita akan mendapati lebih banyak manusia Indonesia yang kuat karakter relijiusnya. Akhirnya, selamat membaca dengan segenap hati, dan selamat memetik mutiara hikmah dan inspirasi. (Much. Khoiri *)

*Artikel ini adalah kata pengantar untuk buku Priyandono berjudul “Berbisnis dengan Tuhan” (Jakarta, Elex Media Komputindo, 2018).

*) Much. Khoiri kini dosen, editor, trainer, penggerak literasi, dan penulis buku dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Alumnus International Writing Program di University of Iowa (1993) dan Summer Institute in American Studies di Chinese University of Hong Kong (1996). Ia masuk dalam buku 50 Tokoh Inspiratif Alumni Unesa (2014). Pernah jadi Redaktur Pelaksana jurnal Kalimas dan Jurnal Sastra dan Seni. Ia menghidupkan beberapa komunitas penulis dan Ngaji Sastra. Karya-karyanya (fiksi dan nonfiksi) dimuat di berbagai media cetak, jurnal, dan online—baik dalam dan luar negeri. Ia telah menerbitkan 42 judul buku tentang budaya, sastra, dan menulis kreatif—baik mandiri maupun antologi. Buku larisnya: Jejak Budaya Meretas Peradaban (2014), Rahasia TOP Menulis (2014), Pagi Pegawai Petang Pengarang (2015), Write or Die: Jangan Mati sebelum Menulis Buku (2017), Virus Emcho: Berbagi Epidemi Inspirasi (2017), Writing Is Selling (2018), Virus Emcho Melintas Batas Ruang Waktu (2020), dan SOS Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan, Edisi Revisi (2020).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar